Dalam sebuah pertandingan olahraga, terasa ganjil bila yang disebut ‘wasit atau juri’ tidak ada. Ganjil pula bila wujudnya ada tetapi kinerjanya hampa atau kerjanya ada tetapi tindakannya curang. Wasit atau juri dalam pertandingan olahraga lazimnya disematkan sebagai penyelenggara jalannya pertandingan. Kaitannya dengan makna penyelenggara, teriring pula makna penengah, penilai, pemimpin dan pendamai suatu kompetisi. Dari tinjauan pemaknaan, tentu kapasitasnya sangat strategis. Baik level individu maupun kelembagaan. Boleh dikatakan, mereka memiliki pengaruh besar dalam penentuan pihak menang atau kalah. Selain wasit atau juri, posisi penyelenggara lainnya (misal. hakim garis atau pengawas petandingan ) juga demikian.
Demikian halnya ketika pertandingan olahraga diganti dengan perhelatan pemilihan. Pemilihan aktor eksekutif (pemilihan presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan walikota) dan pemilihan aktor legislatif (pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota). Posisi penyelenggara pada pertandingan olahraga sama halnya dengan penyelenggara pada perhelatan pemilu. Penggunaan istilah dunia olahraga hanya sekedar kiasan bahasa. Sehingga tidak ada salahnya melakukan analogi sederhana. Semata-mata dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman. Apapun nama individu atau lembaga penyelenggara kompetisi, pada hakikatnya tugas dan tanggungjawabnya sama. Oleh karena pertandingan olahraga sering ditonton maka melalui gambaran itu dapat dipahami ruang lingkupnya dengan mudah. Dari situ kita menyadari betapa pentingnya tugas penyelenggara pada sebuah kompetisi.
Konteks penyelenggara pemilu di Indonesia yang terangkum dalam lembaga penyelenggara terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kelembagaan kedua lembaga tersebut disusun secara hierarki berdasar cakupan wilayah dalam negeri dan luar negeri. Penyelenggara pemilu khusus dalam negeri meliputi KPU Provinsi - Bawaslu Provinsi (tingkat Provinsi), KPU Kabupaten/Kota - Panwaslu Kabupaten/Kota (tingkat Kabupaten/Kota), PPK - Panwaslu Kecamatan (tingkat Kecamatan), Panitia Pemungutan Suara - Pengawas Pemilu Lapangan (tingkat desa/kelurahan) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk luar negeri meliputi Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Susunan kelembagaan pemilu mencerminkan hierarki
yang sangat jelas mulai dari desa/kelurahan sampai pusat. Dengan
demikian, struktur yang jelas mesti sejalan dengan etos kerja yang
maksimal. Lembaga sebagai salah satu perangkat pemilu diharapkan tampil
prima. Lembaga penyelenggara merupakan kunci utama kesuksesan demokrasi.
Sedangkan pemilu adalah instrumen utama demokrasi. Kaitan antara
lembaga penyelenggara, pemilu dan demokrasi bersifat interdependence (saling ketergantungan).
Menuju sistem demokrasi, perlu kualitas kelembagaan dalam
penyelenggaraan pemilu. Demokrasi dan pemilu bukan barang siap pakai.
Dibutuhkan sistem dan prosedur pendukung. Dalam hal ini, KPU dan Bawaslu
serta lembaga turunannya sangat berperan penting menuntaskan segala hal
yang terkait dengan pelaksanaan pesta demokrasi.
Disamping
itu, lembaga penyelenggara pemilu tidak cukup memaknai demokrasi dan
pemilu dengan hanya berpacu pada teks. Ada konteks yang lebih kompleks
untuk perlu dipertimbangkan. Konteks keapatisan sebagian masyarakat
menjadi pertimbangan tersendiri. Tingginya angka golput
menandakan tingkat keapatisan masyarakat yang meningkat. Karena itu,
kecenderungan pasif oleh sebagian masyarakat harus dijawab dengan
kepiawaian aktif dari penyelenggara pemilu. Bukan dijawab dengan
tindakan yang pasif pula. Inilah titik fokus yang perlu diperhatikan
penyelenggara. Kalau diabaikan maka demokrasi akan runtuh dengan
sendirinya. Sebagaimana umumnya, demokrasi diterjemakan ‘dari, oleh dan
untuk’ rakyat. Substansi ‘dari’ tidak lagi terwakilkan bila banyak
masyarakat yang tidak memilih. Jika demikian adanya, lantunan demokrasi
tidak lebih dari sebatas ilusi.
Memang
problem ini bukan hanya tanggungjawab lembaga penyelenggara melainkan
juga seluruh elemen masyarakat. Namun dalam pandangan legal dengan
berpacu pada tugas dan wewenang maka KPU dan Bawaslu serta lembaga
turunannyalah yang memiliki mandat utuh. Tentu mandat besar dari negara
wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Memang lembaga tersebut
dibentuk untuk mengawal pemilu agar sesuai dengan prinsip ideal
demokrasi. Berbicara tentang lembaga, sudah mengikut individu yang
terlibat didalamnya. Antara individu dan lembaga terikat dalam kesatuan
konsep yaitu penyelenggara. Lembaga sifatnya statis. Individu yang
membuatnya dinamis.
Untuk
selanjutnya muncul pertanyaan sederharna. Apa gunanya lembaga yang
terstruktur kalau tidak diiringi dengan kinerja yang berkualitas ?. Pada
prinsipnya, inti dari penyelenggara pemilu kembali pada kinerjanya.
Kinerja yang baik tentu mendekatkan pada pencapaian pemilu jujur dan
adil. Sebaliknya, kinerja yang buruk akan mengarahkan pada kegagalan
demokratisasi. Penting untuk disadari bahwa kinerja yang maksimal sangat
erat hubungannya dengan etos kerja. Selanjutnya, apakah etos kerja
penyelenggara pemilu paket dengan karakter individu ataukah dampak
sistemik dari pola yang ada. Maksudnya, etos kerja itu bersifat internal
individu atau eksternal individu. Pilihannya terjawab pada fakta
beberapa kasus. Dimana etos kerja penyelenggara pemilu akan sangat
tergantung pada proses awal (baca:seleksi). Ketika mereka memulai proses
awal dengan baik, sudah pasti tidak ada tekanan batin sehingga etos
kerja meningkat dalam menyelesaikan tahapan demi tahapan. Sayangnya,
ketika proses awal sudah diwarnai tawar-menawar maka tidak mustahil etos
kerjanya juga bisa ditawar-tawar.
Bukan
hal yang sulit untuk menggadaikan sebuah harga diri apabila sejak awal
sudah menjual harga diri. Ungkapan ini representasi dari polemik. Kasus
seleksi penyelenggara pemilu yang dibingkai dengan pendekatan kuasa
banyak menciderai demokrasi. Kuasa selalu mengesampingkan kualitas, yang
ada hanyalah kepentingan. Tidak salah ketika banyak penyelenggara yang
sebenarnya tidak kompeten tetapi diberi peluang. Kinerjanya sudah pasti
tidak perlu diperdebatkan lagi untuk mendiskusikan baik atau buruk.
Memang ini terlihat rumit untuk diperbaiki karena sudah mengakar. Sulit
untuk dihindari dan sudah menjadi rahasia umum. Ironinya, akan menjadi
benalu sistem pemerintahan dan perpolitikan kalau dibiarkan.
Ujung-ujungnya melahirkan ketidakadilan dan masalah berkepanjangan.
Potret Kerja
Tidak
sedikit dari kisruh pemilu di Indonesia, khususnya pemilukada, yang
menggambarkan keberpihakan KPU dan Panwaslu pada salah satu kandidat.
Etos kerja penyelenggara terlalu mudah dikendalikan oleh rayuan
pragmatis. Tidak adil dalam penghitungan, pencoblosan dan pengawasan.
Lebih parah lagi, dari beberapa kasus pemilihan gubernur dan pemilihan
bupati/walikota di Indonesia ditemukan bahwa alasan utama tingginya golput disebabkan
banyaknya masyarakat yang tidak mendapat surat undangan atau kartu
pemilih. Karena itu, meminimalisir kecurangan demi kecurangan tentu
menjadi pekerjaan rumah penyelenggara. Sangat lucu kalau pihak yang
seharusnya sebagai pengendali justru bertingkah timpang. Walaupun tensi
politik tinggi, tidak ada salahnya tetap menjalankan ritme kerja
terbaik.
Adab Penyelenggara
Kasus yang telah terjadi cukup untuk dijadikan pelajaran
berharga. Kondisi buruk yang telah dilalui selama dilakukannya pemilu
di Indonesia sudah sangat mengerikan. Untuk itu, jelang perhelatan
berbagai pemilukada 2013-2014 dan pemilu 2014 maka penyelenggara perlu
mengedepankan adab. Etika bagi penyelenggara pemilu sangat jelas diatur
dalam regulasi tentang penyelenggara pemilu. Beberapa asaz pokok yang
wajib dijunjung yakni jujur, adil, professional dan terbuka. Suatu
kesalahan fatal apabila KPU dan Bawaslu serta lembaga dibawahnya
mempertontonkan adab yang keliru. Sebenarnya, gejolak dalam pemilihan
bisa diredam secara perlahan sekiranya lembaga yang berwenang berada
pada koridor yang tepat. Disini dipertegas, adab yang sesuai dengan
kaidah wajib diberlakukan umum bagi semua penyelenggara tanpa
terkecuali. Biasanya lembaga terendah seperti PPS dan KPPS diabaikan.
Padahal tingkat kecurangan tertinggi terkadang berasal dari bawah selain
memang dominannya dari atas. Dengan dekimian, etos kerja seluruh
penyelenggara sangat menentukan kesuksesan perhelatan demokrasi di
Indonesia.