HIKMAH PUBLIK


POLITIK DAN NUANSA RAMADHAN


Memasuki akhir bulan Ramadhan 1434 H, ada tanya yang tersimpan dalam hati. Adakah hikmah dari bulan suci yang dapat dipetik (dan akan dipetik) sebagai pelajaran menyongsong tahun politik ?. Ini pertanyaan sekaligus mungkin pernyataan singkat bagi kita semua selaku homo politicus. Jangan sampai keberkahannya berlalu begitu saja. Tanpa menyisakan sesuatu hal yang tentunya dapat dijadikan bekal berharga. Momentum Ramadhan sangat tepat jika dikaitkan sebagai proses pendidikan politik. Sama halnya proses pendidikan di perguruan tinggi yang mendidik para calon guru atau birokrat. Proses pendidikan itulah yang nantinya diharapkan membentuk karakter unggul dan terpercaya. Yang dimaksud pendidikan politik dalam bingkai Ramadhan tentu jangan dimaknai kaku. Dalam item ini, lebih didorong pada upaya perbaikan perilaku diri zoon politicon berbasis spritualitas. 
  
Beranjak dari kesadaran bahwa setelah Ramadhan 1434 H, ada banyak hajatan politik yang akan dilalui. Sebagaimana diketahui bahwa akan diselenggarakan pesta demokrasi akbar 5 tahunan beberapa bulan kedepan. Baik dalam bentuk pemilihan kepala daerah (pemilukada) maupun pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta pemilihan presiden (pilpres). Jika melihat jadwal yang ditetapkan KPU, penyelenggaraan tahapan puncak Pemilu 2014 akan berlangsung antara Ramadhan 1434 H dengan Ramadhan 1435 H. Perencanaannya demikian kalau tidak ada halangan dan rintangan dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya. Artinya, momen Ramadhan kali ini sangat tepat untuk dijadikan fase pembinaan diri. Pembinaan dalam rangka pendidikan politik untuk kita semua. Rumusnya sederhana, tahun politik 2014 akan berjalan lancar bila perilaku masyarakat berada pada norma ideal.        

Maka tentunya Ramadhan 1434 H mesti diperlakukan lebih dibanding 4 Ramadhan sebelumnya. Terutama kaitannya dengan mengambil setiap hikmah dari proses berpuasa. Tersisa setengah bulan waktu ideal puasa menjadi perhatian serius. Setengah dari puasa yang telah dilalui kelihatannya hanya banyak dimanfaatkan sebagai nuansa pencitraan oleh para calon politisi. Namun ini tidak terlalu menjadi masalah serius sepanjang niat ibadah tidak dipudarkan oleh hasrat politik praktis. Pendidikan politik melalui penghayatan bulan puasa bukan hanya berlaku bagi calon politisi (yang dipilih) melainkan juga bagi masyarakat umum (yang memilih). Oleh karena itu, kita semua yang sudah menjadi bagian dari sistem demokrasi perlu untuk memaknai pesan-pesan dari bulan mubarak.

Kegagalan pemilu 2004 dan pemilu 2009 terasa pada apa yang dirasakan saat ini. Dikarenakan ketidakdewasaan kita dalam memilih politisi, akibatnya berdampak secara langsung bagi seluruh masyarakat. Disamping itu, banyak politisi yang tidak terdidik dengan baik. Tidak heran ketika simpati kepada mereka berubah menjadi antipati berkepanjangan. Ini yang perlu direfleksi sehingga pendewasaan pendidikan politik dalam bentuk perbaikan perilaku menjadi kewajiban bersama. Kedepan, ada banyak persoalan yang akan dihadapi. Nasib dari semu hal itu sangat tergantung kepada siapa yang duduk di kursi eksekutif dan legislatif. Kalau diduduki oleh mereka yang memiliki hati nurani maka keniscayaan sejahtera menghampiri, namun begitupun sebaliknya.       

Jujur
Puasa mendidik kita untuk jujur. Terutama jujur pada diri sendiri mulai dari terbit matahari sampai terbenam matahari. Aktifitas sehari-hari dominan dikendalikan oleh kejujuran. Dalam kondisi apapun, niat untuk membatalkan puasa masih sering ditinggalkan kebanyakan dari kita. Rasanya malu-malu untuk makan atau minum dalam kesendirian ataupun keramaian. Oleh karena disadari bahwa itu semua adalah perbuatan yang tidak dibenarkan. Sebenarnya, disitulah tercipta didikan untuk selalu berbuat jujur selama satu bulan penuh. Mengapa tidak, hal ini yang dibiasakan tidak sebatas di bulan Ramadhan. Tetapi juga selalu dilaksanakan selama satu tahun penuh. Khususnya menjelang masa-masa tahun politik yang tentunya cenderung krisis perilaku.

Berawal dari sini, untuk selanjutnya mendidik sikap dalam berpolitik. Pesan kejujuran itu yang kiranya benar-benar dihayati dalam diri agar perilaku jujur tercipta secara otomatis pada pemilu 2014 mendatang. Jujur pada diri sendiri dengan mempertimbangkan segala sesuatunya pada hati nurani. Perlu disadari, nurani tidak pernah berbohong. Dengan demikian, sangat indah sekiranya jujur itu ada dalam sanubari setiap insan manusia. Pemilih tetap mengedepankan kejujuran dalam setiap tahapan demokrasi. Pihak yang dipilih juga demikian. Bahkan yang dipilih dituntut lebih karena tuntunan untuk menjadi panutan itu perlu. Apalagi terkadang masyarakat sangat tergantung pada sikap politisi. Biasanya masyarakat apatis karena ada desakan pragmatis dari politisi. Ataukan politisi mendominasi kencenderungan masyarakat.

Adil
Adil hampir mirip dengan jujur. Satu paket dalam hikmah Ramadhan. Demikian halnya jujur dan adil yang selalu menjadi satuan utuh dalam prinsip pemilu di Indonesia. Didikan untuk adil dalam Ramadhan dirasakan pada saat sahur dan berbuka. Dapat kita amati, betapa adilnya pemberian takjilan dan sejenisnya. Para penyuguh sahur dan buka puasa selalu memberikan porsi yang sama kepada semua masyarakat yang berbuka di suatu tempat. Juga penyuguh mendapat giliran yang sama dalam menyiapkan santapan sahur dan buka. Sehingga apapun status sosialnya, terkadang selalu mendapat hal yang sama. Tidak ada indikasi membebeda-bedakan satu sama lain. Berlatih memberi yang adil dan menerima yang adil tersisipkan sepanjang bulan puasa. Pada akhirnya tidak ada yang merasa dirugikan atau merasa dilebihkan.    

Adil dalam pemilu  sudah menjadi keharusan. Dapat dipastikan akan ada perselisihan panjang yang bakal terjadi sekiranya prinsip adil diabaikan. Pendidikan untuk berbuat adil dalam politik terproses dengan sendirinya pada bulan suci. Ramadhan telah mengajarkan sebuah keadilan. Kita tinggal memaknainya dengan baik, kemudian menanamnya dalam hati. Tentu ada banyak didikan keadilan lainnya jika dimaknai secara mendalam. Dalam bentuk apapun kita memaknai pesan keadilan selama Ramadhan, yang terpenting adalah hal itu diresapi sebaik-baiknya guna menjadi bekal spiritual plus emosional menyambut pemilu.

Bijaksana
Bijaksana dalam pemilu merupakan hal pertama dan utama yang mesti ditunjukkan. Selama ini, sengketa pemilu banyak terjadi karena sikap bijaksana hampir dipastikan terkubur dalam-dalam. Bagi para calon politisi secara khusus, sesungguhnya dalam bulan suci Ramadhan ada banyak didikan untuk bijaksana. Kalau kita rasakan dengan seksama, merelakan waktu untuk bangun sahur dan turunannya ternyata mendidik ummat untuk bijak terhadap aturan yang telah ditetapkan dalam tuntunan puasa. Semua kelihatan ikhlas sambil mengedepankan akal budi dengan ketentuan ini. Tidak sedikit yang justru kelihatan berbahagia. Ketika waktu imsak tiba, dengan ikhlas menanggalkan semua makanan dan minuman. Ini bentuk bijaksana kita atas segala ketentuan yang ada. 

Sungguh ideal bila bijaksana itu ada. Dalam pemilu, sikap bijaksana harus dimiliki oleh semua calon politisi tanpa terkecuali. Bersifat arif atas semua ketentuan yang sudah ditetapkan. Kalaupun ada masalah, diselesaikan juga dengan bijak. Lebih jelasnya, siap kalah dan siap menang bukti dari kebijaksanaan yang sesungguhnya. Mari kita sadari bersama bahwa tidak ada kedamaian tanpa kebijakasanaan. Kebijaksanaan ditekankan pada memberi peluang kepada orang lain atas kenyataan yang ada. Tidak saling jatuh menjatuhkan. Semakin bijak mengamalkan Ramadhan tentu menjadi pondasi dasar untuk bijaksana dalam pemilu 2014 mendatang. Semoga hikmah Ramadhan yang ada kaitannya dengan pendidikan politik dapat diwujudkan pada setiap pesta demokrasi.  


-----------------------------------

LAILATUL QADAR, MOMEN INSAF KORUPTOR


Perlahan tapi pasti, tanpa disadari bulan ramadhan sudah memasuki 10 hari terakhir. Di akhir-akhir ramadhan, sebagian umat islam yang paham keutamaan bulan ramadhan meningkatkan amalan ibadahnya, sebagian pula justru mengurangi volume amalan ibadahnya. Perlu disadari bahwa malam akhir-akhir ramadhan merupakan momen terpenting dalam setiap tahunnya untuk memantapkan keimanan dan ketaqwaan. Akhir-akhir ramadhan, khususnya malam ganjil, diyakini terdapat lailatul qadar. Sebagaimana sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad  bahwa lailatul qadar terjadi pada malam-malam ganjil yaitu malam ke- 21, 23, 25, 27 dan 29. Kemudian dipertegas dalam sabda Nabi bahwa “barangsiapa mendirikan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
 
Keistimewaan bulan suci ramadhan, khususnya pada malam lailatul qadar, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dalam bulan suci ramadhan kita diberikan kesempatan untuk memohon ampun atas segala dosa yang telah diperbuat sebelumnya. Maka layaklah dikatakan bahwa bulan ramadhan merupakan momen yang paling tepat untuk insaf bagi umat islam yang memiliki banyak salah dan dosa. Baik itu dosa yang sengaja dilakukan maupun dosa yang dilakukan tanpa sadar. Apapun sebab dari perbuatan dosa itu, kiranya perlu untuk di mohon ampunkan pada Allah.

Meyakini keutamaan malam lailatul qadar akan mendorong kita untuk intropeksi diri dengan sadar. Karena tanpa kesadaran beragama, cenderung kita lalai jika apa yang telah dilakukan melanggar syariat. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak fenomena yang menggambarkan dosa sosial yang dilakukan secara bersama oleh oknum dan kelompok tertentu. Tentunya perbuatan tersebut tidak dibenarkan dalam kaca mata hukum dan kaca mata agama. Salah satu diantara sekian banyak pelanggaran yang dimaksud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perilaku korupsi.

Dosa Korupsi
Apa itu ‘korupsi’ ?. Pertanyaan ini cukup fenomenal karena istilah ‘korupsi’ sangat familiar ditengah masyarakat. Mulai dari anak-anak usia dini sampai orang lanjut usia cukup paham dengan kata korupsi. Ketika mereka ditanya tentang koruptor maka dengan spontan menjawab ‘orang yang suka curi uang negara’. Sepintas, korupsi memang identik dengan pencuri, hanya modus dan penamaan saja yang berbeda. Secara substansi, sama-sama berpredikat maling karena mengambil sesuatu yang bukan haknya. Biasanya dilakukan secara terencana dan sistematis  yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang yang dimiliki.

Dalam kaidah agama, sangat jelas jika korupsi itu merupakan dosa yang sangat fatal. Salah satu riwayat disebutkan bahwa ‘penggelapan (harta umat dan Negara) adalah perkara besar dan berakibat besar’. Pada riwayat yang lain disebutkan bahwa ‘”ketika korupsi, suap menyuap, dan sejenisnya merajalela, maka itu tanda kehancuran. Inilah bukti amanah tidak dipegang lagi, serta urusan pemerintahan dan umat diserahkan kepada yang bukan ahlinya. Jika itu terjadi, maka tunggulah kehancurannya.'' (HR Bukhari).

Tindak korupsi di Indonesia memang sangat aneh karena konon negara yang mayoritas muslim justru terdepan dalam perkara korupsi. Lantas, dimana peran ajaran Islam yang selalu mengajarkan umatnya berbuat baik, ataukah memang kepribadian sebagian umat Islam sudah rusak. Ketika kita mau membuka tabir tersebut maka terdapat deretan nama koruptor yang beridentitas muslim. Coba kita renungkan sejenak korutor ternama di Indonesia, hampir dipastikan mayoritas beragama Islam. Ataukah membuka lembaran hangat korupsi sepanjang tahun 2012 seperti kasus wisma atlet Palembang dan Hambalat di Kementerian Olah Raga, dan kasus korupsi simulator SIM di Kepolisian. Bukan hanya itu, ditemukan pula kasus korupsi yang menampar wajah umat islam yakni korupsi pengadaan Al-Qur’an di Kementerian Agama Republik Indonesia.

Kasus yang saat ini ditangani oleh KPK dan Kepolisian hanyalah sebagian kecil dari kasus korupsi yang ada, mulai dari pusat sampai ke daerah. Apa yang terlihat di media belum seberapa karena masih banyak kasus yang belum sempat ditangani atau bahkan sengaja disembunyikan untuk mengelabui pihak yang berwenang dalam proses hukum. Memang dalam pendekatan kuantitatif masih sulit untuk menyimpulkan angka pasti koruptor yang beragama Islam, namun dalam pendekatan kualitatif cukup meyakinkan dengan melihat gejala dan faktor lainnya mengenai koruptor yang didominasi oleh umat Islam.

Intinya, korupsi merupakan salah satu dosa yang harus diberantas bersama. Hal tersebut tidak dibenarkan dalam hukum terlebih dalam agama karena merusak tatanan kehidupan dalam meraih masyarakat madani. Berbicara dosa terkait dengan korupsi perlu mendapat perhatian khusus karena dosa korupsi sering dilakukan bersama dan tersitematis sehingga harus diberantas sampai ke akar-akarnya ‘tanpa pandang bulu’ (mengutip komentar ketua KPK ; Abraham Samad).

Insaf Berjamaah
Orang yang berbuat dosa dalam Islam diberikan kesempatan untuk mohon ampun kepada Allah melalui jalan taubat. Artinya, tidak mengulangi kesalahan (korupsi) yang pernah dilakukan. Allah selalu membuka pintu taubat bagi hambanya, selama hambanya betul-betul melakukan taubatan nasuha. Taubat yang sebenar-benarnya taubat, bukan taubat air mata buaya yang sering diistilahkan dalam masyarakat. Pentingnya taubat bagi umat Islam yang melakukan salah dan dosa disebutkan dalam Firman Allah Swt ‘Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, (Q.S. At Tahriim : 8).

Tentunya, momen bulan ramadhan sangat tepat untuk insaf karena hanya ada sekali setahun. Terlebih lagi dengan adanya lailatul qadar yang memiliki keutamaan khusus dibandingkan dengan malam-malam lainnya. Lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan atau sekitar 83 tahun 4 bulan. Dengan demikian, sudah sepatutnya koruptor yang beragama Islam melakukan intropeksi diri pada bulan ramadhan kali ini. Para koruptor harus sadar bahwa masyarakat sudah muak dengan kasus tersebut yang semakin hari semakin jadi. Senang diatas penderitaan orang lain itu tidak baik, apalagi jika hak masyarakat diambil atau diselewengkan oleh oknum  tertentu. Maka tidak perlu heran jika konglomerat selalu tertawa melihat penderitaan kaum melarat.  

Oleh karena itu, perlu dilakukan kesadaran diri atau insaf dan taubat  atas korupsi yang telah dilakukan. Serta tidak korupsi lagi dimasa akan datang. Insaf yang dimaksud disini bukan sebatas tidak melakukannya lagi tetapi merenungi apa yang telah dilakukan dengan maksud tazkiayatun nafs (mensucikan diri). Uang rakyat yang telah dirampok oleh koruptor harus dikembalikan ke negara. Jangan melakukan modus lain dengan memaksakan kebenaran pada hal yang keliru seperti menyumbangkan uang hasil korupsi pada pembangunan masjid.

Bulan ramadhan sangat komplit memberikan pelajaran bagi umat Islam jika kita mampu memaknainya. Ibarat manusia yang sedang dikarantina oleh Allah untuk bekal pengendalian diri agar tidak melakukan kesalahan satu tahun kedepan. Termasuk tidak melakukan korupsi dan sejenisnya. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari bulan ramadhan dan dimaknai secara serius supaya kehadiran bulan ramadhan tidak berlalu begitu saja. Tetapi minimal ada autocritic dalam setiap pribadi muslim. Umat islam mestinya menjadi tauladan dalam ruang sosial, politik, hukum dan pemerintahan.

Jika semua umat Islam sadar akan hal tersebut maka suatu kepastian pencegahan korupsi menjadi harapan besar di masa akan datang. Perlu disadari dan menjadi bahan pertimbangan terkait kesuksesan Hongkong, Singapore, Denmark dan Selandia Baru dalam menangani korupsi, yang nota bene bukan negara mayoritas muslim. Otomatis jika kita bandingkan, pasti ada kesalahan yang terbangun dalam dinamika pemerintahan sehingga Indonesia selalu saja masuk nominasi negara terkorup di dunia. Disisi lain, ada hal substansial yang terlupakan oleh masyarakat Indonesia sebagaimana tertuang dalam falsafah pancasila dan amanat Undang-Undang 1945.

Insaf agar tidak korupsi bukan sekedar diirarkan tetapi diyakini dalam hati dan diamalkan dalam bentuk perbuatan sehari-hari terkait dengan urusan berbangsa dan bernegara. Namun, terkadang sulit untuk terhindar dari korupsi karena sistem yang terbangun kurang bagus, misalnya kurangnya kontrol sosial dan lemahnya kepastian hukum. Hal ini membuat oknum tertentu selalu terjebak dalam kasus korupsi sebab kesempatan untuk korupsi terbuka lebar.    

Setelah mengamati gejala korupsi yang terjadi di republik ini. Terdapat suatu catatan berharga yang perlu ditelaah bersama bahwa setiap kasus korupsi yang terjadi selalu dilakukan lebih dari satu orang. Disamping itu, hampir semua instansi pemerintah terlibat kasus korupsi. Jadi, ihktiar untuk insaf berjamaah perlu disegerakan untuk menciptakan sinergitas bersama yang harmonis oleh semua pihak yang tergabung dalam lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Ketiga lembaga inilah yang menjadi stakeholder dalam pemberantasan korupsi. Meskipun terkadang terjadi ‘kong kali kong’ sehingga sulit membedakan tersangka dan bukan tersangka.     

Apapun kondisi yang terjadi saat ini, pencegahan korupsi adalah suatu keharusan yang penting dan mendesak. Tanpa menunda-nunda dengan alasan ‘siapa yang akan melakuan dan kapan akan dilakukan’. Insaf berjamaah inilah dapat dijadikan alternative yang tepat dibulan suci ramadhan agar semua koruptor (tanpa menyebut nama) bertobat secara kolektif. Insaf berjamaah tidak sulit untuk dilakukan karena cukup berserah diri pada Allah dan meningkatkan ibadah malam-malam akhir ramadhan serta berniat taubatan nasuha agar mendapat rahmat Allah pada lailatul qadar. Dengan harapan, setelah ramadhan kali ini, terlahir manusia-manusia suci yang anti korupsi.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar