Selasa, 27 Agustus 2013

SENGKETA UU PENDIDIKAN TINGGI



Pasca ditetapkan menjadi produk hukum, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menuai kritikan dari beberapa kalangan. Pada akhirnya berujung di meja hijau lembaga kehakiman yang bertugas mengadili dan menguji undang-undang dengan putusan bersifat final. Sengketa bermula dari permohonan judicial review sekelompok mahasiswa Universitas Andalas (Unand) yang mendapat respon positif dari pihak berwenang di Mahkamah Konstitusi. Untuk selanjutnya menjadi suatu perkara yang cukup menghebohkan dunia pendidikan di Indonesia. Khususnya lingkup perguruan tinggi (PTN/PTS) secara umum. Sebab polemik ini seolah-olah menggambarkan sebuah dialektika akademik antara seorang pelajar dengan pengajarnya yang terkadang dijumpai di ruang kelas. 

Mahasiswa selaku pihak pemohon meminta keterangan dari pihak yang terlibat langsung dalam perumusan regulasi. Meskipun dalam hal ini, saksi (perumus regulasi) adalah para guru besar yang sudah lama terlibat di dunia pendidikan tinggi. Secara kapasitas tidak diragukan lagi. Tentunya proses pembuatan UU Pendidikan Tinggi dilalui dengan penuh ketelitian, keseriusan dan berbasis pada kaidah ilmiah demi kemajuan pendidikan nasional. Tidak sekedar dibuat tanpa arti dan makna. Serta tidak mungkin pula dirumuskan asal-asalan. Pertimbangan logis sesuai khittah pendidikan sudah pasti ada. Para perumus dipastikan mengetahui titik kekurangan pendidikan tinggi selama ini. Titik itulah yang diperbaiki melalui pendekatan hukum demi menciptakan dinamika yang lebih baik.

Tetapi kenyataannya tidak semulus yang dibanyangkan. Malah terjadi kontra dari sekelompok mahasiswa. Berarti ada hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku menurut padangan mereka. Mereka mengasumsikan ada sesuatu di balik undang-undang yang tidak berpihak pada publik. Asumsi mereka sudah pasti didalami terlebih dahulu sebelum muncul sikap ofensif. Seandainya saja pasal demi pasal yang tertuang benar (menurut analisa pemohon). Tidak mungkin muncul kritikan dan tidak mungkin pula menjadi perkara di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena sudah diperkarakan, berarti tuntutan sekelompok mahasiswa mendapat prioritas penting. Permohonan mereka mendapat persetujuan dari hakim konstitusi. Secara tidak langsung kredibilitas perumus agak diragukan karena usulan judicial review ditanggapi cukup serius.    

Sebagian pihak mendukung upaya yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa. Sebagian pula mendorong perumus agar tetap mewujudkan apa yang telah dicantumkan dalam regulasi tersebut. Penafsiran pro dan kontra sangat tergantung pada tingkat pemahaman item per item. Jika ditelusuri lebih detail, sebenarnya sikap kritis itu sendiri muncul karena secara umum sekelompok mahasiswa Unand menilai ada ketidaksesuaian antara teks undang-undang dengan semangat pendidikan yang dicitacitakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Beberapa poin yang dinilai bertentangan meliputi kekhawatiran adanya privatisasi pendidikan, biaya pendidikan mahal dan persekongkolan pendidikan antara pihak perguruan tinggi dengan pelaku industri (lapangan kerja). Undang-undang itu dipahami tidak mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Dalam pandangan lain, dugaan-dugaan itu perlu juga dipertanyakan kembali. Tidak bermaksud membela pihak yang pro dan menjatuhkan pihak yang kontra. Prinsipnya, yang benar yang diperjuangkan. Mari memahami secara mendalam item yang disengketakan. Boleh jadi poin yang dipermasalahkan hanya kekeliruan saja dalam memaknai konsep otonomi perguruan tinggi. Bukankah bahasa otonomi selalu diagung-agungkan pasca reformasi 1998.

Singkatnya, otonomi pendidikan dinilai tidak berpihak pada masyarakat miskin. Otonomi pendidikan ditolak oleh beberapa kalangan. Bukan hanya dari sekelompok mahasiswa melainkan juga dari beberapa elemen yang merasa ada keganjilan. Anehnya, rumusan otonomi daerah jarang dipermasalahkan. Padahal tonomi pendidikan dengan otonomi daerah hampir mirip. Dalam otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan mengelola daerahnya sendiri. Begitupun dengan otonomi pendidikan, lembaga pendidikan diberi kewenangan mengelola lembaganya sendiri. Jika otonomi daerah dianggap solusi terbaik maka mengapa tidak bagi otonomi pendidikan. Melalui otonomi, sistem pelayanan bisa lebih maksimal.

Disamping itu, memahami privatisasi jangan terlalu sempit atau kaku. Dimaksud privatisasi ketika separuh dari pengelolaan dan kepemilikan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia serta sumber daya lainnya diberikan kepada pihak swasta/asing. Apabila hal itu benar ada maka perlu dilakukan judicial review terhadap undang-undang pendidikan tinggi. Sebaliknya, jika itu tidak benar maka argumen privatisasi tidak tepat dikemukakan. Selanjutnya, biaya pendidikan juga dipermasalahkan karena dimungkinkan biaya akan lebih mahal. Dalam konteks pendidikan, sebenarnya makna dari biaya mahal juga masih abstrak. Ukuran standar dikatakan mahal juga belum jelas. Biaya mahal pada jurusan tertentu mungkin wajar jika ada sesuatu yang membuatnya mahal. Dikatakan mahal apabila harga suatu barang tidak sesuai dengan kualitas barang yang ditawarkan.

Jika memang biaya pendidikan dianggap mahal maka subsidi atau beasiswa solusi terbaik. Itupun harus diawasi dengan baik. Selama ini biaya pendidikan masih relatif terjangkau tetapi angka partisipasi pendidikan di perguruan tinggi juga belum mengggembirakan. Baru mencapai 27,01 % pada tahun 2011. Tahun sebelumnya (2010) sebanyak 26,34 %. Dari presentase itu, berdasarkan data Susenas 2011, masyarakat kurang mampu yang mengenyam pendidikan hanya 4,4 %. Kelas menengah sebanyak 18,8 %. Justru masyarakat mampu mencapai 43,6 %. Dengan demikian, setidaknya 43,6 % mahasiswa yang ada di perguruan tinggi adalah orang mampu. Mestinya sistem penyaluran beasiswa yang perlu diawasi. Disitulah masalah sentral yang sesungguhnya.

Bayangkan saja kalau beasiswa yang ditawarkan selama ini bukan masyarakat miskin yang mendapatkannya. Padahal masyarakat miskin yang selalu diatasnamakan dalam pembiayaan. Semahal apapun biaya pendidikan di PT itu tidak masalah selama ada bantuan pendidikan, subsidi dan beasiswa. Masyarakat kurang mampu akan terbantu dengan sendirinya. Tidak munkin juga biaya pendidikan dimurahkan kepada semua masyarakat, khususnya bagi mereka yang memiliki sebongkah harta. Undang-undang dasar hanya mewajibkan pendidikan dasar dan menengah. Tentunya aturan main di perguruan tinggi berbeda dengan sekolah dasar dan menengah.

Lebih lanjut, kekhawatiran adanya persekongkolan dalam sistem pendidikan tinggi juga mesti dipelajari dengan baik. Dimana letak persekongkolan itu kalau memang ada yang memahami demikian. Mungkin hanya kekhawatiran saja yang muncul. Sudah seharusnya sistem pendidikan tinggi diperbaiki karena penggangguran terdidik di Indonesia kian meningkat. Badan Pusat Statistik merilis jumlah pengangguran sarjana sebanyak 438.210 orang dan diploma sebanyak 196.780 pada tahun 2012. Tingginya angka pengangguran tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah bagi perguruan tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan hubungan simetris antara sistem pendidikan dengan potensi lapangan kerja. Jadi, apapun bentuk sistem dan regulasi pendidikan yang dirumuskan, selama demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterahkan masyarakat maka itu lebih baik dibanding mempertahankan sistem yang sudah kurang relevan dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar