Pasca ditetapkan menjadi produk
hukum, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menuai
kritikan dari beberapa kalangan. Pada akhirnya berujung di meja hijau lembaga
kehakiman yang bertugas mengadili dan menguji undang-undang dengan putusan
bersifat final. Sengketa bermula dari permohonan judicial review sekelompok mahasiswa Universitas Andalas (Unand)
yang mendapat respon positif dari pihak berwenang di Mahkamah Konstitusi. Untuk
selanjutnya menjadi suatu perkara yang cukup menghebohkan dunia pendidikan di
Indonesia. Khususnya lingkup perguruan tinggi (PTN/PTS) secara umum. Sebab
polemik ini seolah-olah menggambarkan sebuah dialektika akademik antara seorang
pelajar dengan pengajarnya yang terkadang dijumpai di ruang kelas.
Mahasiswa selaku pihak pemohon
meminta keterangan dari pihak yang terlibat langsung dalam perumusan regulasi. Meskipun
dalam hal ini, saksi (perumus regulasi) adalah para guru besar yang sudah lama
terlibat di dunia pendidikan tinggi. Secara kapasitas tidak diragukan lagi.
Tentunya proses pembuatan UU Pendidikan Tinggi dilalui dengan penuh ketelitian,
keseriusan dan berbasis pada kaidah ilmiah demi kemajuan pendidikan nasional.
Tidak sekedar dibuat tanpa arti dan makna. Serta tidak mungkin pula dirumuskan
asal-asalan. Pertimbangan logis sesuai khittah pendidikan sudah pasti ada. Para
perumus dipastikan mengetahui titik kekurangan pendidikan tinggi selama ini.
Titik itulah yang diperbaiki melalui pendekatan hukum demi menciptakan dinamika
yang lebih baik.
Tetapi kenyataannya tidak semulus
yang dibanyangkan. Malah terjadi kontra dari sekelompok mahasiswa. Berarti ada
hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku menurut padangan mereka.
Mereka mengasumsikan ada sesuatu di balik undang-undang yang tidak berpihak
pada publik. Asumsi mereka sudah pasti didalami terlebih dahulu sebelum muncul
sikap ofensif. Seandainya saja pasal demi pasal yang tertuang benar (menurut
analisa pemohon). Tidak mungkin muncul kritikan dan tidak mungkin pula menjadi
perkara di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena sudah diperkarakan, berarti
tuntutan sekelompok mahasiswa mendapat prioritas penting. Permohonan mereka
mendapat persetujuan dari hakim konstitusi. Secara tidak langsung kredibilitas
perumus agak diragukan karena usulan judicial
review ditanggapi cukup serius.
Sebagian pihak mendukung upaya yang
dilakukan oleh sekelompok mahasiswa. Sebagian pula mendorong perumus agar tetap
mewujudkan apa yang telah dicantumkan dalam regulasi tersebut. Penafsiran pro dan
kontra sangat tergantung pada tingkat pemahaman item per item. Jika ditelusuri
lebih detail, sebenarnya sikap kritis itu sendiri muncul karena secara umum sekelompok
mahasiswa Unand menilai ada ketidaksesuaian antara teks undang-undang dengan semangat
pendidikan yang dicitacitakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Beberapa poin yang dinilai
bertentangan meliputi kekhawatiran adanya privatisasi pendidikan, biaya
pendidikan mahal dan persekongkolan pendidikan antara pihak perguruan tinggi
dengan pelaku industri (lapangan kerja). Undang-undang itu dipahami tidak
mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Dalam pandangan lain,
dugaan-dugaan itu perlu juga dipertanyakan kembali. Tidak bermaksud membela
pihak yang pro dan menjatuhkan pihak yang kontra. Prinsipnya, yang benar yang
diperjuangkan. Mari memahami secara mendalam item yang disengketakan. Boleh
jadi poin yang dipermasalahkan hanya kekeliruan saja dalam memaknai konsep otonomi
perguruan tinggi. Bukankah bahasa otonomi selalu diagung-agungkan pasca
reformasi 1998.
Singkatnya, otonomi pendidikan
dinilai tidak berpihak pada masyarakat miskin. Otonomi pendidikan ditolak oleh
beberapa kalangan. Bukan hanya dari sekelompok mahasiswa melainkan juga dari
beberapa elemen yang merasa ada keganjilan. Anehnya, rumusan otonomi daerah
jarang dipermasalahkan. Padahal tonomi pendidikan dengan otonomi daerah hampir
mirip. Dalam otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan mengelola
daerahnya sendiri. Begitupun dengan otonomi pendidikan, lembaga pendidikan
diberi kewenangan mengelola lembaganya sendiri. Jika otonomi daerah dianggap
solusi terbaik maka mengapa tidak bagi otonomi pendidikan. Melalui otonomi,
sistem pelayanan bisa lebih maksimal.
Disamping itu, memahami privatisasi
jangan terlalu sempit atau kaku. Dimaksud privatisasi ketika separuh dari
pengelolaan dan kepemilikan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia serta
sumber daya lainnya diberikan kepada pihak swasta/asing. Apabila hal itu benar
ada maka perlu dilakukan judicial review terhadap
undang-undang pendidikan tinggi. Sebaliknya, jika itu tidak benar maka argumen
privatisasi tidak tepat dikemukakan. Selanjutnya, biaya pendidikan juga
dipermasalahkan karena dimungkinkan biaya akan lebih mahal. Dalam konteks
pendidikan, sebenarnya makna dari biaya mahal juga masih abstrak. Ukuran
standar dikatakan mahal juga belum jelas. Biaya mahal pada jurusan tertentu
mungkin wajar jika ada sesuatu yang membuatnya mahal. Dikatakan mahal apabila
harga suatu barang tidak sesuai dengan kualitas barang yang ditawarkan.
Jika memang biaya pendidikan
dianggap mahal maka subsidi atau beasiswa solusi terbaik. Itupun harus diawasi
dengan baik. Selama ini biaya pendidikan masih relatif terjangkau tetapi angka
partisipasi pendidikan di perguruan tinggi juga belum mengggembirakan. Baru
mencapai 27,01 % pada tahun 2011. Tahun sebelumnya (2010) sebanyak 26,34 %. Dari
presentase itu, berdasarkan data Susenas 2011, masyarakat kurang mampu yang
mengenyam pendidikan hanya 4,4 %. Kelas menengah sebanyak 18,8 %. Justru
masyarakat mampu mencapai 43,6 %. Dengan demikian, setidaknya 43,6 % mahasiswa
yang ada di perguruan tinggi adalah orang mampu. Mestinya sistem penyaluran beasiswa
yang perlu diawasi. Disitulah masalah sentral yang sesungguhnya.
Bayangkan saja kalau beasiswa yang
ditawarkan selama ini bukan masyarakat miskin yang mendapatkannya. Padahal
masyarakat miskin yang selalu diatasnamakan dalam pembiayaan. Semahal apapun
biaya pendidikan di PT itu tidak masalah selama ada bantuan pendidikan, subsidi
dan beasiswa. Masyarakat kurang mampu akan terbantu dengan sendirinya. Tidak
munkin juga biaya pendidikan dimurahkan kepada semua masyarakat, khususnya bagi
mereka yang memiliki sebongkah harta. Undang-undang dasar hanya mewajibkan
pendidikan dasar dan menengah. Tentunya aturan main di perguruan tinggi berbeda
dengan sekolah dasar dan menengah.
Lebih
lanjut, kekhawatiran adanya persekongkolan dalam sistem pendidikan tinggi juga
mesti dipelajari dengan baik. Dimana letak persekongkolan itu kalau memang ada
yang memahami demikian. Mungkin hanya kekhawatiran saja yang muncul. Sudah
seharusnya sistem pendidikan tinggi diperbaiki karena penggangguran terdidik di
Indonesia kian meningkat. Badan Pusat Statistik merilis jumlah pengangguran
sarjana sebanyak 438.210 orang dan diploma sebanyak 196.780 pada tahun 2012.
Tingginya angka pengangguran tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah bagi
perguruan tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan hubungan simetris antara sistem
pendidikan dengan potensi lapangan kerja. Jadi, apapun bentuk sistem dan
regulasi pendidikan yang dirumuskan, selama demi mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mensejahterahkan masyarakat maka itu lebih baik dibanding mempertahankan
sistem yang sudah kurang relevan dengan perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar