(testimoni singkat pasca konflik Pemilukada Palopo 2013)
Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara
langsung sebagai bagian dari kerangka demokrasi ternyata tidak berjalan
maksimal sesuai harapan. Meskipun dipercaya banyak pihak dapat mewujudkan akuntabilitas
pemerintahan lokal yang lebih baik (Permana, 2010:133). Pemilukada banyak
menimbulkan masalah baru skala rendah dan skala tinggi. Beberapa situasi dan
kondisi sering memunculkan masalah yang kompleks. Sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
disintegrasi dan disstabilitas bangsa dari pusat hingga ke daerah. Masalah
mendasar dalam penyelenggaraan pemilukada yakni konflik politik. Wibawa (2005) menilai
pemilihan kepala daerah membuka terjadinya conflict
interpretation, conflict of interest, conflict of accountability, conflict of
supervisory dan conflict of case
settlement, baik vertikal maupun horizontal.
Konflik pemilukada (baik pemilihan gubernur
dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati dan wakil bupati atau pemilihan
walikota dan wakil walikota) terkadang berujung pada aksi anarkis dan brutal. Peluang
munculnya aksi serupa diperkirakan dapat terjadi seseuai dengan jumlah
pemerintah daerah. Saat ini jumlah pemerintah daerah di Indonesia sebanyak 530 berdasarkan
data Kementerian Dalam Negeri (Januari-2009). Terdiri dari pemerintah provinsi
(Pemprov) sebanyak 33, pemerintah kabupaten (Pemkab) sebanyak 399 dan
pemerintah kota (Pemkot) sebanyak 98. Secara tidak langsung, terdapat 530 titik
konflik yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Meskipun konflik tidak
selalu terjadi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Namun potensi konflik
akan selalu ada dalam setiap momen pemilukada. Mengingat konflik rentan terjadi
dalam perebutan kekuasaan.
Selama diterapkannya pemilukada secara
langsung (2005-2013), sejumlah kasus konflik telah terjadi di berbagai daerah. Beberapa
diantaranya yaitu Kabupaten Padang Pariaman (2005), Kabupaten Tuban (2006),
Provinsi Maluku Utara (2007), Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga (2011),
Provinsi Aceh (2012) dan Kota Palopo (2013). Selain itu, terdapat pula beberapa
sengketa pemilukada lainnya yang bereskalasi dalam waktu cukup lama dengan
motif yang hampir sama. Sebagian besar dari kasus tersebut berujung di meja hijau
Mahkamah Konstitusi. Rata-rata disebabkan adanya kecurangan dan indikasi
ketidakadilan dalam tahapan pra sampai pasca pemilihan langsung kepala daerah.
Konflik pemilukada kota Palopo (Sulawesi Selatan) menjadi kasus
terbesar dan sangat fenomenal di tahun 2013. Konfigurasi pemilukada diwarnai
aksi pembakaran pada beberapa kantor instansi pemerintah dan swasta.
Kantor-kantor yang dibakar yaitu kantor Walikota Palopo, kantor Camat Wara
Timur, kantor Media Palopo Pos dan sekretariat Partai Golkar. Aksi dilakukan oleh massa dari salah satu calon Walikota
dan Wakil Walikota. Massa menilai ada indikasi kecurangan pada beberapa tempat
pemungutan suara (TPS). Hal ini memicu terjadinya eskalasi konflik. Setelah
mencapai puncak eskalasi, pihak-pihak yang berseteru dikendalikan melalui resolusi
konflik. Mediasi cara yang tepat sebagai pendekatan alternatif dalam sengketa pemilukada
harus ditangani dengan. Resolusi dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga yang
bersifat netral. Langkah ini dimaksudkan untuk meredam konflik agar tidak
meningkat dan meluas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar