Minggu, 28 Juli 2013

KONFLIK PEMILUKADA



(testimoni singkat pasca konflik Pemilukada Palopo 2013)
 
Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung sebagai bagian dari kerangka demokrasi ternyata tidak berjalan maksimal sesuai harapan. Meskipun dipercaya banyak pihak dapat mewujudkan akuntabilitas pemerintahan lokal yang lebih baik (Permana, 2010:133). Pemilukada banyak menimbulkan masalah baru skala rendah dan skala tinggi. Beberapa situasi dan kondisi sering memunculkan masalah yang kompleks. Sehingga dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi dan disstabilitas bangsa dari pusat hingga ke daerah. Masalah mendasar dalam penyelenggaraan pemilukada yakni konflik politik. Wibawa (2005) menilai pemilihan kepala daerah membuka terjadinya conflict interpretation, conflict of interest, conflict of accountability, conflict of supervisory dan conflict of case settlement, baik vertikal maupun horizontal.

Konflik pemilukada (baik pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati dan wakil bupati atau pemilihan walikota dan wakil walikota) terkadang berujung pada aksi anarkis dan brutal. Peluang munculnya aksi serupa diperkirakan dapat terjadi seseuai dengan jumlah pemerintah daerah. Saat ini jumlah pemerintah daerah di Indonesia sebanyak 530 berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Januari-2009). Terdiri dari pemerintah provinsi (Pemprov) sebanyak 33, pemerintah kabupaten (Pemkab) sebanyak 399 dan pemerintah kota (Pemkot) sebanyak 98. Secara tidak langsung, terdapat 530 titik konflik yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Meskipun konflik tidak selalu terjadi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Namun potensi konflik akan selalu ada dalam setiap momen pemilukada. Mengingat konflik rentan terjadi dalam perebutan kekuasaan.

Selama diterapkannya pemilukada secara langsung (2005-2013), sejumlah kasus konflik telah terjadi di berbagai daerah. Beberapa diantaranya yaitu Kabupaten Padang Pariaman (2005), Kabupaten Tuban (2006), Provinsi Maluku Utara (2007), Kabupaten Gowa (2010), Kabupaten Ilaga (2011), Provinsi Aceh (2012) dan Kota Palopo (2013). Selain itu, terdapat pula beberapa sengketa pemilukada lainnya yang bereskalasi dalam waktu cukup lama dengan motif yang hampir sama. Sebagian besar dari kasus tersebut berujung di meja hijau Mahkamah Konstitusi. Rata-rata disebabkan adanya kecurangan dan indikasi ketidakadilan dalam tahapan pra sampai pasca pemilihan langsung kepala daerah.      

Konflik pemilukada kota Palopo (Sulawesi Selatan) menjadi kasus terbesar dan sangat fenomenal di tahun 2013. Konfigurasi pemilukada diwarnai aksi pembakaran pada beberapa kantor instansi pemerintah dan swasta. Kantor-kantor yang dibakar yaitu kantor Walikota Palopo, kantor Camat Wara Timur, kantor Media Palopo Pos dan sekretariat Partai Golkar.  Aksi  dilakukan oleh massa dari salah satu calon Walikota dan Wakil Walikota. Massa menilai ada indikasi kecurangan pada beberapa tempat pemungutan suara (TPS). Hal ini memicu terjadinya eskalasi konflik. Setelah mencapai puncak eskalasi, pihak-pihak yang berseteru dikendalikan melalui resolusi konflik. Mediasi cara yang tepat sebagai pendekatan alternatif dalam sengketa pemilukada harus ditangani dengan. Resolusi dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral. Langkah ini dimaksudkan untuk meredam konflik agar tidak meningkat dan meluas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar