Sabtu, 11 Mei 2013

DRAMA SUBSIDI BBM



Selama era rezim Susilo Bambang Yodhoyono (SBY), subsidi BBM selalu menjadi kiasan pemerintah. Diterapkan dengan irama yang bervariasi. Subsidi terkadang dinaikkan, juga terkadang diturunkan. Pemerintah kelihatan cerdik memanipulasi subsidi serta inisiasi kompensasi lainnya. Meskipun subsidi sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat. Terkait dengan fenomena subsidi BBM era Indonesia Bersatu. Ada dua hal yang menyita perhatian. Pertama, harga BBM pernah diturunkan pada 1 Desember 2008, 15 Desember 2008 dan 15 Januari 2009. Harga Rp. 6.000 menjadi Rp. 4.500 untuk jenis premium. Harga Rp. 5.500 menjadi Rp. 4.500 untuk jenis solar. Kedua, mahasiswa pernah diberi Bantuan Langsung Tunai BBM (dana taktis) ketika terjadi kenaikan harga BBM pada tanggal 23 Mei 2008.
 
Secara umum, fakta dari subsidi BBM dapat dirasakan bersama. Harga eceran BBM dalam negeri untuk jenis bensin premium dan minyak solar cukup berfluktuasi dalam dekade 2005-2013. Perpres nomor 55 tahun 2005 mengawali penetapan subsidi BBM era SBY. Dilanjut Permen Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 16 dan nomor 38 tahun 2008. Terakhir Perpres nomor 15 tahun 2012 tentang harga eceran BBM. Di tahun 2013, harga BBM kembali akan dirubah. Kali ini perubahannya tidak untuk diturunkan, malah ingin dinaikkan. Sebagai catatan, subsidi menjadi bumerang jika tidak dikendalikan dengan baik. Masalahnya, masyarakat miskin selalu menjadi penderita utama setiap ada perubahan subsidi.

Sisi yang menarik dalam wacana subsidi BBM adalah fenomena naik-turun harga dan pemberian kompensasi kepada masyarakat sebagai umpan balik rasio BBM. Ketika harga BBM diturunkan atau subsidi dinaikkan maka hampir dipastikan masyarakat senang dengan hal itu. Apalagi ketika diberi bantuan langsung, misalnya BLT dan Raskin serta beberapa program sejenis lainnya. Baik yang diprogramkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sebaliknya masyarakat akan melawan rezim ketika pemerintah tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Dikarenakan sama saja terjadi penyimpangan kewajiban jika hak warga negara tidak dipenuhi.

Semua ekonom menyadari subsidi BBM sebagai instrumen kebijakan fiskal yang perlu dirasionalisasi. Khususnya dalam mengatur ritme ekonomi makro guna mencapai titik keseimbangan. Harus ada landasan yang ideal dan normatif dalam mengantisipasi agar tidak terjadi defisit anggaran, inflasi tinggi dan penambahan utang. Rasio ekonomi berdasarkan beberapa sumber disebutkan bahwa akan terjadi defisit anggaran (mencapai 3,8 %), pertumbuhan ekonomi rendah (dibawah 6,2 %) dan penambahan utang (ratusan triliun) pada tahun 2013 kalau subsidi BBM tidak dikurangi.

Konsumsi BBM yang tinggi setiap tahun memicu perlunya rasionalisasi yang efektif dan efisien. Berbagai kalangan menilai subsidi BBM kurang produktif. Juga berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional apabila tidak diintervensi oleh pemerintah. Disamping itu, pasokan BBM dalam negeri semakin berkurang dan konsumsi BBM semakin meningkat. Dalam kasus ini, pemerintah meyakini harga yang tinggi dapat menurunkan konsumsi. Akhirnya keputusan yang diambil adalah mengurangi subsidi. Kesimpulan itu memang agak tepat dalam pendekatan ekonomi agar perekonomian tetap berkesinambungan.

Namun tidak cukup sampai disitu memahami cara pandang elit kabinet Indonesia Bersatu. Ada beberapa tindakan keliru pemerintah dalam menyikapi subsidi BBM. Ibarat sebuah drama yang telah dirancang alur ceritanya terlebih dahulu. Subsidi hanyalah penampakan dari upaya rekayasa persepsi publik. Terkait alasan  menaikkan atau menurunkan harga BBM, kiranya perlu analis secara komprehensif. Jangan sampai pemerintah mencari pembenaran alasan rasional yang dapat diterima publik. Sebab ada indikasi manipulasi tujuan yang terlihat selama beberapa tahun terakhir. Subsidi BBM cenderung dijadikan sesuatu yang pragmatis, bukan lagi hal yang substansial. Jika pemerintah punya kepentingan maka subsidi diperjuangan dan bahkan ditawarkan, begitupun sebaliknya.

Dengan kata lain, dijadikan kebijakan populis sekaligus kampanye politik. Sebuah laporan penelitian bulanan dari salah seorang dosen Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM edisi Mei 2013 melaporkan tingkat popularitas calon Presiden jelang pilpres 2009 yang lalu. Adanya kebijakan populis (termasuk penurunan harga BBM) jelang pemilu disebut mendongkrak secara signifikan perolehan suara incumbent ketika itu. Memang terlihat dipolitisasi, harga BBM naik pada periode Mei-2008 dan langsung diturunkan pada periode Desember-2008. Kenaikan hanya berkisar kurang lebih 3 bulan. Konon ketika harga dinaikkan pada Mei-2008, polaritas calon incumbent terjun bebas. Sehingga dengan segala daya dan upaya, harga BBM kembali diturunkan jelang pilpres 2009.

Lantas, jelang akhir periode kedua kabinet Indonesia Bersatu, dengan lantang harga BBM akan dinaikkan karena desakan ekonomi. Presidenpun legowo dengan hal itu. Motif ekonomi dijadikan pembenaran publik. Ironinya, rasio ekonomi seperti sekarang ditenggelamkan ketika akhir periode pertama rezim SBY tahun 2009. Kalau dikatakan terjadi pembengkakan anggaran untuk subsidi BBM dari tahun ke tahun sebagai alasan mendasar. Hemat penulis, itu hanya manipulasi logika pemerintah. Sesunguhnya itu bukan alasan mendasar. Pemerintah sudah pasti memproyeksi sejak awal segala sesuatunya. Pemerintah sadar bahwa negara maju (liberal/neoliberal) tidak pernah sepakat dengan bahasa ‘subsidi’ sejak dulu. Pemerintahpun sadar kalau Indonesia memiliki cadangan minyak dan gas yang terbatas. Sadar pula kalau Indonesia bukan lagi negara net eksportir, melainkan negara net importir migas. Sayangnya jarang dihiraukan karena rezim masih memiliki kepentingan.     

Kenyataan itu tiba-tiba saja ditanggapi serius jelang turun tahta 2014. Bukan kali ini saja terjadi defisit dan inflasi. Sebenarnya sejak subsidi BBM tahun 2005 kondisi itu sudah diproyeksi dengan berbagai macam kemungkinan. Sekarang kelihatan ganjil, pemerintah langsung tunduk dan patuh dengan berbagai laporan yang ada. Terlebih ketika Moody’s Investors Service memperingatkan Indonesia untuk memperbaiki kebijakan harga BBM. Pemerintah terlihat kalang-kabut ingin menaikkan harga BBM segera mungkin. Walaupun disadari harga minyak mentah dunia masih relatif stabil. Mungkin ini cuci tangan SBY jelang masa jabatannya. Tidak ada lagi kepentingan yang didapatkan dalam kebijakan subsidi BBM sehingga keberpihakan dan kepeduliannya nyaris terkikis.

Drama subsidi BBM di Indonesia terindikasi hanya sekedar kepentingan elit. Subsidi itu tinggi ketika kepentingan ada. Sebaliknya, subsidi akan dikurangi ketika kepentingan elit juga mulai berkurang. Subsidi BBM tidak didesain secara berkelanjutan. Cenderung hanya sebatas upaya popularisasi diri. Apalagi BBM sudah menjadi kebutuhan sebagian besar masyarakat. Otomatis pendekatan yang digunakan elit ketika ingin merayu publik yakni pendekatan kepentingan publik. Ketika banyak masyarakat berkepentingan dengan BBM maka elit tentu berfokus ke aspek ini untuk dipolarisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar