Selama era rezim Susilo Bambang Yodhoyono
(SBY), subsidi BBM selalu menjadi kiasan pemerintah. Diterapkan dengan irama
yang bervariasi. Subsidi terkadang dinaikkan, juga terkadang diturunkan. Pemerintah
kelihatan cerdik memanipulasi subsidi serta inisiasi kompensasi lainnya.
Meskipun subsidi sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan
masyarakat. Terkait dengan fenomena subsidi BBM era Indonesia Bersatu. Ada dua
hal yang menyita perhatian. Pertama, harga BBM pernah diturunkan pada 1 Desember
2008, 15 Desember 2008 dan 15 Januari 2009. Harga Rp. 6.000 menjadi Rp. 4.500
untuk jenis premium. Harga Rp. 5.500 menjadi Rp. 4.500 untuk jenis solar. Kedua,
mahasiswa pernah diberi Bantuan Langsung Tunai BBM (dana taktis) ketika terjadi
kenaikan harga BBM pada tanggal 23 Mei 2008.
Secara umum, fakta dari subsidi BBM dapat
dirasakan bersama. Harga eceran BBM dalam negeri untuk jenis bensin premium dan
minyak solar cukup berfluktuasi dalam dekade 2005-2013. Perpres nomor 55 tahun
2005 mengawali penetapan subsidi BBM era SBY. Dilanjut Permen Energi dan Sumber
Daya Mineral nomor 16 dan nomor 38 tahun 2008. Terakhir Perpres nomor 15 tahun
2012 tentang harga eceran BBM. Di tahun 2013, harga BBM kembali akan dirubah. Kali
ini perubahannya tidak untuk diturunkan, malah ingin dinaikkan. Sebagai
catatan, subsidi menjadi bumerang jika tidak dikendalikan dengan baik.
Masalahnya, masyarakat miskin selalu menjadi penderita utama setiap ada
perubahan subsidi.
Sisi yang menarik dalam wacana subsidi BBM
adalah fenomena naik-turun harga dan pemberian kompensasi kepada masyarakat
sebagai umpan balik rasio BBM. Ketika harga BBM diturunkan atau subsidi
dinaikkan maka hampir dipastikan masyarakat senang dengan hal itu. Apalagi
ketika diberi bantuan langsung, misalnya BLT dan Raskin serta beberapa program
sejenis lainnya. Baik yang diprogramkan pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Sebaliknya masyarakat akan melawan rezim ketika pemerintah tidak berpihak
pada kesejahteraan masyarakat. Dikarenakan sama saja terjadi penyimpangan
kewajiban jika hak warga negara tidak dipenuhi.
Semua ekonom menyadari subsidi BBM sebagai
instrumen kebijakan fiskal yang perlu dirasionalisasi. Khususnya dalam mengatur
ritme ekonomi makro guna mencapai titik keseimbangan. Harus ada landasan yang
ideal dan normatif dalam mengantisipasi agar tidak terjadi defisit anggaran, inflasi
tinggi dan penambahan utang. Rasio ekonomi berdasarkan beberapa sumber
disebutkan bahwa akan terjadi defisit anggaran (mencapai 3,8 %), pertumbuhan ekonomi rendah (dibawah 6,2 %) dan penambahan utang (ratusan
triliun) pada tahun 2013 kalau subsidi BBM tidak dikurangi.
Konsumsi BBM yang tinggi setiap tahun memicu
perlunya rasionalisasi yang efektif dan efisien. Berbagai kalangan menilai subsidi
BBM kurang produktif. Juga berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional apabila tidak diintervensi oleh pemerintah. Disamping itu, pasokan BBM
dalam negeri semakin berkurang dan konsumsi BBM semakin meningkat. Dalam kasus
ini, pemerintah meyakini harga yang tinggi dapat menurunkan konsumsi. Akhirnya
keputusan yang diambil adalah mengurangi subsidi. Kesimpulan itu memang agak
tepat dalam pendekatan ekonomi agar perekonomian tetap berkesinambungan.
Namun tidak cukup sampai disitu memahami cara
pandang elit kabinet Indonesia Bersatu. Ada beberapa tindakan keliru pemerintah
dalam menyikapi subsidi BBM. Ibarat sebuah drama yang telah dirancang alur
ceritanya terlebih dahulu. Subsidi hanyalah penampakan dari upaya rekayasa
persepsi publik. Terkait alasan
menaikkan atau menurunkan harga BBM, kiranya perlu analis secara
komprehensif. Jangan sampai pemerintah mencari pembenaran alasan rasional yang
dapat diterima publik. Sebab ada indikasi manipulasi tujuan yang terlihat selama
beberapa tahun terakhir. Subsidi BBM cenderung dijadikan sesuatu yang pragmatis,
bukan lagi hal yang substansial. Jika pemerintah punya kepentingan maka subsidi
diperjuangan dan bahkan ditawarkan, begitupun sebaliknya.
Dengan kata lain, dijadikan kebijakan populis
sekaligus kampanye politik. Sebuah laporan penelitian bulanan dari salah
seorang dosen Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM edisi Mei 2013
melaporkan tingkat popularitas calon Presiden jelang pilpres 2009 yang lalu. Adanya
kebijakan populis (termasuk penurunan harga BBM) jelang pemilu disebut
mendongkrak secara signifikan perolehan suara incumbent ketika itu. Memang
terlihat dipolitisasi, harga BBM naik pada periode Mei-2008 dan langsung
diturunkan pada periode Desember-2008. Kenaikan hanya berkisar kurang lebih 3
bulan. Konon ketika harga dinaikkan pada Mei-2008, polaritas calon incumbent
terjun bebas. Sehingga dengan segala daya dan upaya, harga BBM kembali
diturunkan jelang pilpres 2009.
Lantas, jelang akhir periode kedua kabinet
Indonesia Bersatu, dengan lantang harga BBM akan dinaikkan karena desakan
ekonomi. Presidenpun legowo dengan hal itu. Motif ekonomi dijadikan pembenaran
publik. Ironinya, rasio ekonomi seperti sekarang ditenggelamkan ketika akhir
periode pertama rezim SBY tahun 2009. Kalau dikatakan terjadi pembengkakan
anggaran untuk subsidi BBM dari tahun ke tahun sebagai alasan mendasar. Hemat
penulis, itu hanya manipulasi logika pemerintah. Sesunguhnya itu bukan alasan
mendasar. Pemerintah sudah pasti memproyeksi sejak awal segala sesuatunya.
Pemerintah sadar bahwa negara maju (liberal/neoliberal) tidak pernah sepakat
dengan bahasa ‘subsidi’ sejak dulu. Pemerintahpun sadar kalau Indonesia
memiliki cadangan minyak dan gas yang terbatas. Sadar pula kalau Indonesia bukan
lagi negara net eksportir, melainkan
negara net importir migas. Sayangnya
jarang dihiraukan karena rezim masih memiliki kepentingan.
Kenyataan itu tiba-tiba saja ditanggapi
serius jelang turun tahta 2014. Bukan kali ini saja terjadi defisit dan
inflasi. Sebenarnya sejak subsidi BBM tahun 2005 kondisi itu sudah diproyeksi dengan
berbagai macam kemungkinan. Sekarang kelihatan ganjil, pemerintah langsung
tunduk dan patuh dengan berbagai laporan yang ada. Terlebih ketika Moody’s Investors Service memperingatkan
Indonesia untuk memperbaiki kebijakan harga BBM. Pemerintah terlihat
kalang-kabut ingin menaikkan harga BBM segera mungkin. Walaupun disadari harga
minyak mentah dunia masih relatif stabil. Mungkin ini cuci tangan SBY jelang
masa jabatannya. Tidak ada lagi kepentingan yang didapatkan dalam kebijakan
subsidi BBM sehingga keberpihakan dan kepeduliannya nyaris terkikis.
Drama subsidi BBM di Indonesia terindikasi
hanya sekedar kepentingan elit. Subsidi itu tinggi ketika kepentingan ada.
Sebaliknya, subsidi akan dikurangi ketika kepentingan elit juga mulai
berkurang. Subsidi BBM tidak didesain secara berkelanjutan. Cenderung hanya
sebatas upaya popularisasi diri. Apalagi BBM sudah menjadi kebutuhan sebagian
besar masyarakat. Otomatis pendekatan yang digunakan elit ketika ingin merayu
publik yakni pendekatan kepentingan publik. Ketika banyak masyarakat
berkepentingan dengan BBM maka elit tentu berfokus ke aspek ini untuk
dipolarisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar