Kamis, 11 April 2013

RUU ORMAS, SEBUAH INSTRUMEN HEGEMONI



Pengesahan RUU tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) menjadi UU tinggal selangkah. Pencapaiannya sudah 90 % menurut Pansus RUU Ormas. Pertanda bahwa dalam waktu dekat akan ditetapkan menjadi legal form dalam bentuk undang-undang yang mengikat. RUU ini revisi dari UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Meskipun dikatakan sebagai revisi, namun pada hakikatnya isi, fungsi dan tujuannya hampir sama. Dibuat sebagai hegemoni (dominasi, kontrol, kuasa) negara atas masyarakat. Dalam hal ini, negara berupaya membatasi ruang gerak organisasi masyarakat.

Kalau negara bermaksud ingin mengatur warga negaranya demi stabilitas nasional itu tidak masalah. Karena memang salah satu peran negara ialah menjaga stabilitas nasional. Hanya saja sangat keliru jika negara melakukan lebih dari itu. Negara sudah bisa ditafsirkan sebagai organisasi kekuasaan semata. Hadir bukan untuk membawa solusi demi kesejahteraan rakyat. Tetapi cenderung represif dalam menjalankan peran dan tugasnya. Salah satunya yaitu membatasi kebebasan berserikat masyarakat. Sebagaimana yang tercantum secara tekstual dan kontekstual dalam RUU Ormas. 

Ungkapan ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat, disitu ada hukum) jangan disalahtafsirkan dan dipaksakan. Walaupun masyarakat mesti diatur agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi, ada ruang-ruang tertentu yang tidak harus dibatasi atau diatur secara ketat. Khususnya hal yang menyangkut kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Dengan catatan, pendapat dan organisasi tersebut tidak melanggar norma agama, hukum dan adat. Poin dari deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1984 juga menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berserikat.

Dalam RUU Ormas sendiri tercantum banyak ketidakbebasan dalam berorganisasi. Ada banyak keganjilan yang secara langsung melahirkan sifat ofensif dari berbagai kalangan. Terutama masyarakat yang berserikat pada salah satu organisasi masyarakat. Misalnya Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan terbesar di Indonesia. Upaya penolakan yang marak disuarakan bukan berarti melakukan perlawanan terhadap rezim. Lebih pada pemikiran kritis dan pernyataan sikap karena dinilai banyak kekeliruan dalam RUU Ormas. Memungkinkan munculnya kembali ruh orde baru dengan wajah berbeda.

Maraknya aksi penolakan yang terwadahi dalam Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia membuktikan bahwa memang ada ketidakberesan dalam rancangan itu. Akan timbul banyak mudharat dibanding manfaat. Dalam Islam, sesuatu yang menimbulkan lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya tidak dibenarkan. Apalagi kalau menimbulkan efek negatif tersistematis bagi kepentingan orang banyak. RUU itupun juga dinilai lucu dan dungu (lugu). Contohnya, organisasi Masyarakat Asing diberi kebebasan beroperasi di Indonesia. Sebaliknya, Organisasi Masyarakat tidak diberi kebebasan beroperasi di luar negeri. Obsesi pemikiran yang tidak fair dalam konstelasi era globalisasi. Dari contoh ini, dapat diasumsikan ada sesuatu yang mungkin ingin dimainkan oleh otoritas penguasa di negeri ini.

Muncul banyak diskusi dan diskursus dalam persoalan ini. Wacana sederhana, misalnya, dari pihak pro yang bertitiktolak karena alasan banyaknya ormas yang bermunculan dengan status (stuktur dan kultur) yang tidak jelas dan banyaknya aksi anarkisme dari ormas maka dirumuskan RUU Ormas. Kalau berdalih dengan alasan itu, kiranya semakin rancu. Bukankah negara ini negara hukum yang telah memiliki Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Perdata yang sangat komplit. Tentu mengatur segala sesuatu tentang pelanggaran yang dikhawatirkan oleh para perumus RUU. Kalaupun ada ormas melakukan aksi kriminal maka diproses melalui jalur hukum. Kalau terkait aksi teroris, sudah ada UU teroris. Kalau ada ormas bertentangan dengan keyakinan agama dan ideologi nasional maka selesaikan melalui aturan atau lembaga terkait.

Alasan seperti itu dan lainnya tidak mesti dibuat dalam bentuk undang-undang yang tidak jelas. Para perumus RUU berdalih ingin menjaga ormas yang sudah ada agar tetap eksis. Tetapi dengan sendirinya justru membatasi ruang gerak. Bukannya mendukung, tetapi melemahkan. Cukup kasus orde baru yang terjadi sejak diterapkannya UU No. 8 tahun 1985 dijadikan pelajaran berharga. Kala itu, banyak aturan yang bersifat otoriter. Keliru jika praktek orde baru dalam memperlakukan organisasi kemasyarakatan ingin diulang kembali.

Kuasa Negara Atas Ormas
Sebenarnya, para pendiri republik tidak bermaksud menjadikan negara sebagai instrumen kekuasaaan, instrumen intimidasi dan instrumen hegemoni. Negara ini didirikan susah payah oleh seluruh rakyat Indonesia terdahulu. Saat ini, kenapa mesti ada kuasa terhadap ormas itu sendiri. Perlu disadari bahwa NKRI tidak akan pernah berharkat dan bermartabat di mata dunia tanpa dukungan ormas. Baik yang berdiri pra kemerdekaan maupun pasca proklamasi kemerdekaan. Capaian yang telah dilakukan oleh beberapa ormas sangat luar biasa. Khususnya ormas Indonesia yang mampu melebarkan sayapnya ke seluruh penjuru dunia. Ini yang mungkin tidak disadari sehingga semena-mena ingin membatasi gerakan ormas.

Dibuatnya RUU Ormas sudah menjadi bukti bahwa negara benar-benar ingin kembali berkuasa di wilayah otonomi ormas. Ada beberapa pasal dalam RUU Ormas yang mengindikasikan adanya kuasa negara. Sebelumnya, perlu dipahami bahwa ketika kita berbicara kuasa negara, pilotnya adalah pemerintah. Berbicara pemerintah, pilotnya adalah partai politik. Berbicara partai politik, pilotnya adalah politisi. Berbicara politisi, tema utamanya selalu terkait dengan ‘kekuasaan’. Jadi secara tidak langsung, pemain yang ingin berkuasa pada domain ini adalah politisi itu sendiri. Politisi yang dimaksudkan adalah politisi yang mendukung RUU Ormas untuk disahkan. Mereka seolah-olah berbuat atas nama kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya justru menghakimi masyarakat.

Penguasa ormas pada zaman orde baru boleh diklaim berada ditangan Presiden Soeharto. Ormas ketika itu dikuasai melalui negara untuk menggapai visi dan misi penguasa. Orang-orang yang hidup pada zaman itu pasti merasakan betapa kuatnya hegemoni negara atas ormas. Akhirnya, semua ormas dipaksa mengikuti aturan yang ada. Maklum, saat itu belum ada semangat reformasi. Lebih lanjut, relevankah kuasa itu dibiarkan di era reformasi saat ini. Era yang mendorong adanya civil society. Kalau civil society ingin dikembangkan sebagai sebuah sistem kenegaraan. Seharusnya titik-titik yang menjadi sub sistemnya jangan dimatikan. Kuasa negara atas ormas seperti yang tertuang dalam RUU Ormas adalah suatu pencideraan terhadap masyarakat. Tentunya, jika tahapan RUU Ormas terus dilanjutkan. Dipastikan aksi yang lebih serius bakal terjadi sebab banyak ormas yang merasa dirugikan dengan adanya regulasi itu.       

Respon Muhammadiyah    
Persyarikatan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia tentu menanggapi serius persoalan RUU Ormas. Muhammadiyah berdalil berdasarkan norma agama, nilai-nilai kemanusiaan, padangan praktis-teoritis dan dukungan historis. Pandangan kritis dan penolakan yang dikemukakan langsung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah bentuk amar ma’ruf nahi mungkar. Sesuai prinsip yang selalu didalami kapanpun dan dimanapun. Muhammadiyah sebagai ormas sekaligus gerakan dakwah Islam tentu menyatakan sikap keras tentang hal ini. Negara seolah-olah ingin membatasi gerakan dakwah Muhammadiyah yang telah dirintis sebelum negara ini merdeka.

Saat ini, gerakan dakwah Muhammadiyah sendiri sudah sampai ke berbagai negara dan akan terus dikembangkan. Muhammadiyah tentu merasa keberatan jika gerakan ormas hanya berada di wilayah Indonesia. Mengingat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di luar negeri sangat strategis dalam memberjuangkan syiar-syiar agama Islam di seluruh penjuru dunia. Secara historis, Muhammadiyah sudah matang menyikapi perkembangan zaman di usia 1 abad. Sudah matang pula dalam melihat gerakan-gerakan terbaik dalam rangka pencerahan ummat.

Selain itu, masalah mendasar yang menyudutkan Muhammadiyah adalah keuangan organisasi masyarakat yang tertuang dalam Pasal 33 dan 34. Padahal, sejak didirikan sampai sekarang, sudah jutaan orang yang telah menyumbang ke Muhammadiyah. Sebagian dari mereka tidak ingin disebutkan namanya dengan alasan menghindari riya’ sekaligus menjaga keikhlasan. Dalam RUU Ormas, akuntasi standar wajib dilakukan. Aturan ini kurang relevan bagi Muhammadiyah yang telah memiliki ratusan cabang, jutaan anggota dan puluhan juta simpatisan serta ribuan Amal Usaha Muhammadiyah atau Gerakan Pencerahan Muhammadiyah     

Secara ringkas, pernyataan sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang RUU Ormas pertanggal 28 Maret 2013 yaitu : 1). RUU Ormas potensial membatasi kebebasan berserikat, 2). Muhammadiyah mendesak DPR untuk menghentikan seluruh proses RUU demi kestabilan nasional, 3). Pembahasan RUU Ormas tidak urgent dan tidak diperlukan masyarakat. Selain Muhammadiyah, beberapa ormas juga telah menyatakan sikap. Intinya, RUU Ormas harus ditolak karena tidak relevan diterapkan#.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar