Pengesahan RUU tentang Organisasi Masyarakat
(Ormas) menjadi UU tinggal selangkah. Pencapaiannya sudah 90 % menurut Pansus
RUU Ormas. Pertanda bahwa dalam waktu dekat akan ditetapkan menjadi legal form dalam bentuk undang-undang
yang mengikat. RUU ini revisi dari UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Meskipun dikatakan sebagai revisi, namun pada hakikatnya isi, fungsi
dan tujuannya hampir sama. Dibuat sebagai hegemoni (dominasi, kontrol, kuasa)
negara atas masyarakat. Dalam hal ini, negara berupaya membatasi ruang gerak
organisasi masyarakat.
Kalau negara bermaksud ingin mengatur warga
negaranya demi stabilitas nasional itu tidak masalah. Karena memang salah satu
peran negara ialah menjaga stabilitas nasional. Hanya saja sangat keliru jika
negara melakukan lebih dari itu. Negara sudah bisa ditafsirkan sebagai
organisasi kekuasaan semata. Hadir bukan untuk membawa solusi demi
kesejahteraan rakyat. Tetapi cenderung represif dalam menjalankan peran dan
tugasnya. Salah satunya yaitu membatasi kebebasan berserikat masyarakat.
Sebagaimana yang tercantum secara tekstual dan kontekstual dalam RUU Ormas.
Ungkapan ubi
societas ibi ius (dimana ada masyarakat, disitu ada hukum) jangan
disalahtafsirkan dan dipaksakan. Walaupun masyarakat mesti diatur agar tidak
melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi, ada ruang-ruang tertentu
yang tidak harus dibatasi atau diatur secara ketat. Khususnya hal yang
menyangkut kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Dengan catatan, pendapat
dan organisasi tersebut tidak melanggar norma agama, hukum dan adat. Poin dari
deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1984 juga menjunjung tinggi kebebasan
berpendapat dan berserikat.
Dalam RUU Ormas sendiri tercantum banyak
ketidakbebasan dalam berorganisasi. Ada banyak keganjilan yang secara langsung
melahirkan sifat ofensif dari berbagai kalangan. Terutama masyarakat yang
berserikat pada salah satu organisasi masyarakat. Misalnya Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan terbesar di
Indonesia. Upaya penolakan yang marak disuarakan bukan berarti melakukan
perlawanan terhadap rezim. Lebih pada pemikiran kritis dan pernyataan sikap
karena dinilai banyak kekeliruan dalam RUU Ormas. Memungkinkan munculnya
kembali ruh orde baru dengan wajah berbeda.
Maraknya aksi penolakan yang terwadahi dalam
Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia membuktikan bahwa memang ada ketidakberesan
dalam rancangan itu. Akan timbul banyak mudharat dibanding manfaat. Dalam
Islam, sesuatu yang menimbulkan lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya
tidak dibenarkan. Apalagi kalau menimbulkan efek negatif tersistematis bagi kepentingan
orang banyak. RUU itupun juga dinilai lucu dan dungu (lugu). Contohnya, organisasi
Masyarakat Asing diberi kebebasan beroperasi di Indonesia. Sebaliknya, Organisasi
Masyarakat tidak diberi kebebasan beroperasi di luar negeri. Obsesi pemikiran
yang tidak fair dalam konstelasi era
globalisasi. Dari contoh ini, dapat diasumsikan ada sesuatu yang mungkin ingin
dimainkan oleh otoritas penguasa di negeri ini.
Muncul banyak diskusi dan diskursus dalam
persoalan ini. Wacana sederhana, misalnya, dari pihak pro yang bertitiktolak
karena alasan banyaknya ormas yang bermunculan dengan status (stuktur dan
kultur) yang tidak jelas dan banyaknya aksi anarkisme dari ormas maka
dirumuskan RUU Ormas. Kalau berdalih dengan alasan itu, kiranya semakin rancu.
Bukankah negara ini negara hukum yang telah memiliki Kitab Undang Undang Hukum Pidana
dan Perdata yang sangat komplit. Tentu mengatur segala sesuatu tentang
pelanggaran yang dikhawatirkan oleh para perumus RUU. Kalaupun ada ormas
melakukan aksi kriminal maka diproses melalui jalur hukum. Kalau terkait aksi
teroris, sudah ada UU teroris. Kalau ada ormas bertentangan dengan keyakinan
agama dan ideologi nasional maka selesaikan melalui aturan atau lembaga
terkait.
Alasan seperti itu dan lainnya tidak mesti
dibuat dalam bentuk undang-undang yang tidak jelas. Para perumus RUU berdalih
ingin menjaga ormas yang sudah ada agar tetap eksis. Tetapi dengan sendirinya
justru membatasi ruang gerak. Bukannya mendukung, tetapi melemahkan. Cukup
kasus orde baru yang terjadi sejak diterapkannya UU No. 8 tahun 1985 dijadikan
pelajaran berharga. Kala itu, banyak aturan yang bersifat otoriter. Keliru jika
praktek orde baru dalam memperlakukan organisasi kemasyarakatan ingin diulang
kembali.
Kuasa Negara
Atas Ormas
Sebenarnya, para pendiri republik
tidak bermaksud menjadikan negara sebagai instrumen kekuasaaan, instrumen
intimidasi dan instrumen hegemoni. Negara ini didirikan susah payah oleh
seluruh rakyat Indonesia terdahulu. Saat ini, kenapa mesti ada kuasa terhadap
ormas itu sendiri. Perlu disadari bahwa NKRI tidak akan pernah berharkat dan
bermartabat di mata dunia tanpa dukungan ormas. Baik yang berdiri pra kemerdekaan
maupun pasca proklamasi kemerdekaan. Capaian yang telah dilakukan oleh beberapa
ormas sangat luar biasa. Khususnya ormas Indonesia yang mampu melebarkan
sayapnya ke seluruh penjuru dunia. Ini yang mungkin tidak disadari sehingga
semena-mena ingin membatasi gerakan ormas.
Dibuatnya RUU Ormas sudah menjadi
bukti bahwa negara benar-benar ingin kembali berkuasa di wilayah otonomi ormas.
Ada beberapa pasal dalam RUU Ormas yang mengindikasikan adanya kuasa negara. Sebelumnya,
perlu dipahami bahwa ketika kita berbicara kuasa negara, pilotnya adalah
pemerintah. Berbicara pemerintah, pilotnya adalah partai politik. Berbicara
partai politik, pilotnya adalah politisi. Berbicara politisi, tema utamanya
selalu terkait dengan ‘kekuasaan’. Jadi secara tidak langsung, pemain yang
ingin berkuasa pada domain ini adalah politisi itu sendiri. Politisi yang
dimaksudkan adalah politisi yang mendukung RUU Ormas untuk disahkan. Mereka
seolah-olah berbuat atas nama kepentingan masyarakat. Pada kenyataannya justru
menghakimi masyarakat.
Penguasa ormas pada zaman orde
baru boleh diklaim berada ditangan Presiden Soeharto. Ormas ketika itu dikuasai
melalui negara untuk menggapai visi dan misi penguasa. Orang-orang yang hidup
pada zaman itu pasti merasakan betapa kuatnya hegemoni negara atas ormas.
Akhirnya, semua ormas dipaksa mengikuti aturan yang ada. Maklum, saat itu belum
ada semangat reformasi. Lebih lanjut, relevankah kuasa itu dibiarkan di era
reformasi saat ini. Era yang mendorong adanya civil society. Kalau civil
society ingin dikembangkan sebagai sebuah sistem kenegaraan. Seharusnya
titik-titik yang menjadi sub sistemnya jangan dimatikan. Kuasa negara atas ormas seperti yang tertuang dalam RUU Ormas
adalah suatu pencideraan terhadap masyarakat. Tentunya, jika tahapan RUU Ormas
terus dilanjutkan. Dipastikan aksi yang lebih serius bakal terjadi sebab banyak
ormas yang merasa dirugikan dengan adanya regulasi itu.
Respon
Muhammadiyah
Persyarikatan Muhammadiyah sebagai salah satu
ormas terbesar di Indonesia tentu menanggapi serius persoalan RUU Ormas.
Muhammadiyah berdalil berdasarkan norma agama, nilai-nilai kemanusiaan,
padangan praktis-teoritis dan dukungan historis. Pandangan kritis dan penolakan
yang dikemukakan langsung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah
bentuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Sesuai prinsip yang selalu didalami kapanpun dan dimanapun. Muhammadiyah
sebagai ormas sekaligus gerakan dakwah Islam tentu menyatakan sikap keras
tentang hal ini. Negara seolah-olah ingin membatasi gerakan dakwah Muhammadiyah
yang telah dirintis sebelum negara ini merdeka.
Saat ini, gerakan dakwah Muhammadiyah sendiri
sudah sampai ke berbagai negara dan akan terus dikembangkan. Muhammadiyah tentu
merasa keberatan jika gerakan ormas hanya berada di wilayah Indonesia.
Mengingat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di luar negeri sangat
strategis dalam memberjuangkan syiar-syiar agama Islam di seluruh penjuru
dunia. Secara historis, Muhammadiyah sudah matang menyikapi perkembangan zaman
di usia 1 abad. Sudah matang pula dalam melihat gerakan-gerakan terbaik dalam
rangka pencerahan ummat.
Selain itu, masalah mendasar yang menyudutkan
Muhammadiyah adalah keuangan organisasi masyarakat yang tertuang dalam Pasal 33
dan 34. Padahal, sejak didirikan sampai sekarang, sudah jutaan orang yang telah
menyumbang ke Muhammadiyah. Sebagian dari mereka tidak ingin disebutkan namanya
dengan alasan menghindari riya’ sekaligus menjaga keikhlasan. Dalam RUU Ormas, akuntasi
standar wajib dilakukan. Aturan ini kurang relevan bagi Muhammadiyah yang telah
memiliki ratusan cabang, jutaan anggota dan puluhan juta simpatisan serta
ribuan Amal Usaha Muhammadiyah atau Gerakan Pencerahan Muhammadiyah
Secara ringkas, pernyataan sikap Pimpinan Pusat
Muhammadiyah tentang RUU Ormas pertanggal 28 Maret 2013 yaitu : 1). RUU Ormas
potensial membatasi kebebasan berserikat, 2). Muhammadiyah mendesak DPR untuk
menghentikan seluruh proses RUU demi kestabilan nasional, 3). Pembahasan RUU
Ormas tidak urgent dan tidak
diperlukan masyarakat. Selain Muhammadiyah, beberapa ormas juga telah
menyatakan sikap. Intinya, RUU Ormas harus ditolak karena tidak relevan
diterapkan#.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar