Selasa, 26 Februari 2013

POTRET KURIKULUM 2013




Tinggal menunggu waktu, kurikulum pendidikan 2013 akan segera direalisasikan. Tahapan pelaksanaannya telah mendapat lampu hijau dari pemerintah. Dalam hal ini, diutarakan secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono dalam sidang kabinet Indonesia Bersatu jilid II pekan lalu. Kurikulum 2013 akan segera diemplementasikan bulan Juli  mendatang. Tentunya saat ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) selaku pemegang otoritas sementara merumuskan dan menyiapkan berbagai macam perangkat dan instrumen pendukung agar konsep tersebut dapat berjalan lancar.

Hanya saja sampai saat ini, ruang  lingkupnya masih menjadi perdebatan kalangan akademisi dan praktisi pendidikan. Memang banyak yang pro serta meyakini konsep ini dapat memperbaiki sistem pendidikan nasional pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah atau sederajat. Namun disisi lain, adapula yang pesimis terkait prosedur yang akan diterapkan. Bahkan terdapat berbagai macam keganjilan dalam tahapan pra pelaksanaan saat ini. Tahapan pra pelaksanaan yang dimaksud yakni proses yang telah dilakukan dan sementara dilakukan sampai fase pelaksanaan nantinya.

Jika ditinjau dari isi konsep yang digagas dalam kurikulum 2013. Terlihat sangat komprehensif dengan mengedepankan pola tematik-integratif dalam pembelajaran di sekolah. Pola tematik-integratif suatu hal yang penting dilakukan guna menstimulus daya belajar peserta didik agar lebih aktif dan kreatif. Beban mata pelajaran yang diberikan tidak berlebihan lagi. Mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran lainnya diintegrasikan menjadi satu topik bahasan yang menarik. Disamping itu, kurikulum ini juga memadukan aspek kurikuler, kokurikuler dan ektrakurikuler.

Namun perlu disadari bahwa keunggulan konsep terkadang tidak selalu berbanding lurus dengan tindakan di lapangan. Penting untuk mempertimbangkan variabel efisiensi dan efektivitas. Berbicara efesien tentu mengarah pada persoalan daya guna. Selanjutnya, efektivitas terkait dengan persoalan hasil guna. Dalam tinjauan efisiensi, ada keganjilan yang terlihat pada alokasi anggaran yang digunakan. Diakui pelaksanaannya butuh pendanaan yang banyak tetapi bukan berarti anggaran negara dikeluarkan hanya berdasar pada keinginan semata. Tidak mempertimbangkan penggunaan anggaran sesuai dengan perencanaan sebelumnya.

Sampai saat ini, pendanaan untuk pelaksanaan kurikulum mencapai 2,4 triliun. Anggaran ini telah membengkak dua kali dari prediksi awal. Awalnya dianggarkan 684 miliar, kemudian bertambah 1,4 triliun. Pada akhirnya bertambah lagi menjadi 2,4 triliuan. Fakta ini menimbulkan multi tafsir terkait rancangan yang telah diajukan stakeholders. Artinya, rincian anggaran yang dibuat tidak konstan. Dari sini pula terlihat adanya indikasi ketidaksiapan perencanaan anggaran dan anggaran yang diajukan dinilai kurang proyektif. Apabila yang terjadi seperti itu adanya. Maka dapat dipastikan anggaran untuk pelaksanaan kurikulum 2013 akan terus bertambah secara periodik dari waktu ke waktu.

Implementasinya terkesan buru-buru dan kurang matang. Meskipun dinyatakan oleh pemerintah bahwa kebijakan ini telah melewati uji publik. Minus 4 bulan pelaksanaan, belum terlihat ada aksi yang faktual dalam mempersiapkan segala macam perangkat utama dan penunjang. Kondisi yang terjadi hanya berputar pada tataran wacana. Tindakan riil di depan mata belum tampak. Instrumen seperti buku dinyatakan sementara dicetak. Pelatihan guru sementara dipersiapkan. Tata kelola juga demikian. Padahal kurikulum ini akan dilakukan di seluruh penjuru tanah air tahun pelajaran 2013/2014 mendatang. Waktu yang tersisa terasa sangat sempit untuk mendistribusi ratusan ribu buku dan melatih puluhan ribu guru.

Pemerintah mestinya serius menyikapi persoalan ini. Jangan sampai anggaran triliunan rupiah yang diperuntukkan tidak berbanding lurus dengan hasil. Kapanpun dan dimanapun, situasi dan kondisi yang terkesan buru-buru dan tidak terencana dengan baik selalu jauh dari harapan yang diinginkan. Sangat fatal bila hanya menjadi proyek tahunan dari pihak pemegang otoritas yang berwenang dalam menggelontorkan APBN 2013. Oleh karena itu, jika pemerintah benar-benar serius ingin melaksanakan kurikulum baru ini. Perencanaan mestinya terarah dan terukur. Minimal perkembangan sampai saat ini sudah diatas 60 %. Baik rumusan strategis maupun rumusan prosedural.  

Disadari atau tidak, objek dari kurikulum terbaru bukan hanya guru tetapi juga peserta didik (murid dan siswa). Bukan hal yang mudah dalam menyulap kualifikasi guru agar memahami muatan kurikulum 2013. Pastinya penguatan pertama berawal dari guru sebagai pihak implementor utama sebelum diaplikasikan di depan peserta didik. Guru yang akan menjalankan kurikulum ini belum tentu cakap sesuai dengan harapan ideal pembelajaran tematik-integratif. Modal pelatihan 52 jam yang dicanangkan oleh pemerintah tidak cukup merubah keterampilan mengajar guru. Para calon guru yang dididik di perguruan tinggi selama kurang lebih 4 tahun tidak menjamin dapat menjalankan metode tematik-integratif. Sehingga pelatihannya harus lebih dari waktu itu. Kemudian disesuaikan dengan tingkat ketercapaian indikator keterampilan. Serta menyisipkan materi metode tersebut dalam perkulihan di LPTK.

Spekulasi Kurikulum
Kurikulum dilekatkan dengan bahasa spekulasi. Maksudnya, dalam kurikulum 2013 ada modus percobaan, untung-untungan, teoritis dan abstraktif. Orientasinya tidak jangka panjang. Namun lebih pada spekulasi jangka pendek. Artinya, umurnya  boleh jadi hanya seumur masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Besar kemungkinan pergantian kabinet tahun 2014 berefek pada perubahan kebijakan pendidikan yang ada. Hal ini dikarenakan awal dari pencetusan ide kurikulum 2013 kelihatannya bersifat elitis dari kawanan pemerintah saat ini. Potret seolah-olah populis hanya bagian dari negosiasi publik.

Pada hakikatnya, kurikulum harus dirancang dengan baik karena ini menyangkut sistem yang akan dilalui tunas-tunas pemimpin masa depan. Bahasa spekulasi dilontarkan bukan tanpa referensi. Didasarkan pada pengamatan singkat sejarah masa lalu. Sekurang-kurangnya telah terjadi 11 kali perubahan atau revisi kurikulum sejak kemerdekaan. Dalam kurun waktu 10 tahun terahir atau sejak orde reformasi bergulir sudah ada tiga kurikulum yang telah, sementara dan akan dilaksanakan.

Pada tahun 2004 pemerintah merancang kurikulum berbasis kompentensi (KBK). Ternyata kurikulum ini tidak panjang umur. Dalam waktu yang relatif singkat, pemerintah merubah kurikulum tersebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Perubahan KBK ke KTSP merupakan hasil dari pertimbangan khusus para profesional di bidang pendidikan atas dasar mengikuti kebutuhan zaman. Karena pertimbangan lain pula maka saat ini KTSP tahun 2006 diganti dengan model yang diberi nama kurikulum 2013. Apabila dibandingkan dengan persoalan waktu. Dipastikan umur KTSP lebih lama dibanding KBK. 

Singkatnya, apakah kurikulum 2013 juga akan seumur KTSP atau malah kurang lebih mirip dengan KBK. Apakah konsep yang ditawarkan kondisional dengan jangka panjang pengembangan sistem pendidikan nasional atau sebaliknya. Jawabannya sangat tergantung pada kontennya sendiri. Disinilah diharapkan sifat realistis pemerintah dalam memikirkan segala sesuatu mengenai kurikulum baru. Diproyeksikan dengan baik dan mengantisipasi komponen terkait.

Semua pihak pasti sepakat dengan upaya perbaikan sepanjang itu demi keterampilan hidup generasi. Tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah muatan dari gagasan perbaikan dan prosedur pelaksanaan dari gagasan itu. Tentunya dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Hal yang kurang etis bila upaya perbaikan hanya sebatas pemikiran abstrak. Terkendala pada wilayah tekhnis. Sehingga mengakibatkan benturan antara ruang konsep dan teknis. Semuanya harus sinergi agar tidak ada hambatan berarti.

Pemerintah kelihatannya kurang mengantisipasi sejak dini kalau pada titik tertentu para guru mengalami kesulitan mencapai harapan utama kurikulum. Sangat ironi jika masalah ini dijawab dengan merubah kurikulum lagi. Malah yang jadi korban nantinya ialah peserta didik. Model pengajaran dan pembelajaran yang berbeda-beda dapat berefek pada kondisi psikologis. Dapat membuat peserta didik kebingungan menerima pelajaran. Disamping itu, buku sebagai pendukung pembelajaran tidak menggunakan lagi cetakan lama. Dengan sendirinya, orang tua terpaksa harus mencari atau membeli buku baru berdasarkan kurikulum yang diterapkan. Meskipun nantinya ada buku paket yang dibagikan di sekolah.

Aksebilitas Pendidikan
Potret yang agak ganjil dalam kurikulum ini adalah tingkat aksebilitas pendidikan. Jika diamati lebih lanjut, seakan-akan ada gap antara sekolah yang terakreditasi A/B dengan tidak terakreditasi A/B. Mulai dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Sekolah yang terakreditasi A/B dapat melaksanakan kurikulum 2013. Sedangkan yang tidak terakreditasi A/B belum dianjurkan. Akreditasi sekolah menjadi salah satu syarat utama kurikulum ini selain kesiapan sekolah, kesiapan guru dan kesiapan manajemen tata kelola.

Apabila tingkat akreditasi menjadi batasan maka aksebilitas pendidikan seluruh masyarakat Indonesia terbatas dengan sendirinya. Sekolah yang terakreditasi A/B sudah pasti sekolahnya lebih maju dibanding yang tidak demikian. Tentunya sekolah tersebut akan semakin maju. Kurikulum ini mencoba mendesain praktek pengkotak-kotakan sarana pendidikan antara sekolah terakreditasi A/B dengan yang belum terakreditasi A/B. Peserta didik yang kebetulan belajar di sekolah akreditasi A/B sudah pasti mendapatkan pembelajaran yang lebih baik dibanding murid atau siswa yang belajar pada sekolah yang tidak masuk dalam kategori tersebut.

Secara nasional, berdasarkan data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dihimpun dari Media Indonesia 2013 dirilis bahwa persentase sekolah yang terakreditasi A/B untuk setiap jenjang pendidikan yaitu SD (71,5 %), SMP (73,7 %), SMA (74 %) dan SMK (84 %). Dari data ini, dipastikan ada sekitar 25 % peserta didik setiap jenjang pendidikan yang tidak mendapatkan aksebilitas pendidikan yang maksimal dengan metode pembelajaran berbasis tematik-integratif. Secara tidak langsung, murid atau siswa yang kurang aktif dan kreatif semakin terbelenggu dengan keterpurukan.  

Pembatasan aksebilitas pendidikan pada dasarnya merusak sistem pendidikan nasional. Sekolah yang sudah unggul semakin diunggulkan. Sebaliknya, sekolah yang kurang maju semakin jauh dari kualitas. Inilah seputar potret kurikulum 2013 yang terjadi dan kemungkinan terjadi di kemudian hari. Masalahnya cukup kompleks dan menyisakan berbagai macam pertanyaan. Lebih lanjut, masalah yang muncul kemudian justru akan menciderai para implementor dan sistem pendidikan nasional dalam prospek jangka panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar