Tinggal menunggu waktu, kurikulum
pendidikan 2013 akan segera direalisasikan. Tahapan pelaksanaannya telah
mendapat lampu hijau dari pemerintah. Dalam hal ini, diutarakan secara langsung
oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono dalam sidang kabinet Indonesia Bersatu
jilid II pekan lalu. Kurikulum 2013 akan segera diemplementasikan bulan Juli mendatang. Tentunya saat ini Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) selaku pemegang otoritas sementara merumuskan
dan menyiapkan berbagai macam perangkat dan instrumen pendukung agar konsep
tersebut dapat berjalan lancar.
Hanya saja sampai saat ini, ruang lingkupnya masih menjadi perdebatan kalangan
akademisi dan praktisi pendidikan. Memang banyak yang pro serta meyakini konsep
ini dapat memperbaiki sistem pendidikan nasional pada tingkat sekolah dasar dan
sekolah menengah atau sederajat. Namun disisi lain, adapula yang pesimis
terkait prosedur yang akan diterapkan. Bahkan terdapat berbagai macam
keganjilan dalam tahapan pra pelaksanaan saat ini. Tahapan pra pelaksanaan yang
dimaksud yakni proses yang telah dilakukan dan sementara dilakukan sampai fase
pelaksanaan nantinya.
Jika ditinjau dari isi konsep yang digagas dalam kurikulum
2013. Terlihat sangat komprehensif dengan mengedepankan pola tematik-integratif
dalam pembelajaran di sekolah. Pola tematik-integratif suatu hal yang penting
dilakukan guna menstimulus daya belajar peserta didik agar lebih aktif dan
kreatif. Beban mata pelajaran yang diberikan tidak berlebihan lagi. Mata
pelajaran yang satu dengan mata pelajaran lainnya diintegrasikan menjadi satu
topik bahasan yang menarik. Disamping itu, kurikulum ini juga memadukan aspek
kurikuler, kokurikuler dan ektrakurikuler.
Namun perlu disadari bahwa keunggulan konsep terkadang tidak selalu
berbanding lurus dengan tindakan di lapangan. Penting untuk mempertimbangkan
variabel efisiensi dan efektivitas. Berbicara efesien tentu mengarah pada
persoalan daya guna. Selanjutnya, efektivitas terkait dengan persoalan hasil
guna. Dalam tinjauan efisiensi, ada keganjilan yang terlihat pada alokasi anggaran
yang digunakan. Diakui pelaksanaannya butuh pendanaan yang banyak tetapi bukan
berarti anggaran negara dikeluarkan hanya berdasar pada keinginan semata. Tidak
mempertimbangkan penggunaan anggaran sesuai dengan perencanaan sebelumnya.
Sampai saat ini, pendanaan untuk pelaksanaan kurikulum mencapai
2,4 triliun. Anggaran ini telah membengkak dua kali dari prediksi awal. Awalnya
dianggarkan 684 miliar, kemudian bertambah 1,4 triliun. Pada akhirnya bertambah
lagi menjadi 2,4 triliuan. Fakta ini menimbulkan multi tafsir terkait rancangan
yang telah diajukan stakeholders. Artinya,
rincian anggaran yang dibuat tidak konstan. Dari sini pula terlihat adanya
indikasi ketidaksiapan perencanaan anggaran dan anggaran yang diajukan dinilai kurang
proyektif. Apabila yang terjadi seperti itu adanya. Maka dapat dipastikan
anggaran untuk pelaksanaan kurikulum 2013 akan terus bertambah secara periodik
dari waktu ke waktu.
Implementasinya terkesan buru-buru dan kurang matang.
Meskipun dinyatakan oleh pemerintah bahwa kebijakan ini telah melewati uji
publik. Minus 4 bulan pelaksanaan, belum terlihat ada aksi yang faktual dalam
mempersiapkan segala macam perangkat utama dan penunjang. Kondisi yang terjadi
hanya berputar pada tataran wacana. Tindakan riil di depan mata belum tampak.
Instrumen seperti buku dinyatakan sementara dicetak. Pelatihan guru sementara
dipersiapkan. Tata kelola juga demikian. Padahal kurikulum ini akan dilakukan
di seluruh penjuru tanah air tahun pelajaran 2013/2014 mendatang. Waktu yang
tersisa terasa sangat sempit untuk mendistribusi ratusan ribu buku dan melatih
puluhan ribu guru.
Pemerintah mestinya serius menyikapi persoalan ini. Jangan
sampai anggaran triliunan rupiah yang diperuntukkan tidak berbanding lurus
dengan hasil. Kapanpun dan dimanapun, situasi dan kondisi yang terkesan
buru-buru dan tidak terencana dengan baik selalu jauh dari harapan yang
diinginkan. Sangat fatal bila hanya menjadi proyek tahunan dari pihak pemegang otoritas
yang berwenang dalam menggelontorkan APBN 2013. Oleh karena itu, jika
pemerintah benar-benar serius ingin melaksanakan kurikulum baru ini.
Perencanaan mestinya terarah dan terukur. Minimal perkembangan sampai saat ini
sudah diatas 60 %. Baik rumusan strategis maupun rumusan prosedural.
Disadari atau tidak, objek dari kurikulum terbaru bukan hanya
guru tetapi juga peserta didik (murid dan siswa). Bukan hal yang mudah dalam
menyulap kualifikasi guru agar memahami muatan kurikulum 2013. Pastinya penguatan
pertama berawal dari guru sebagai pihak implementor utama sebelum diaplikasikan
di depan peserta didik. Guru yang akan menjalankan kurikulum ini belum tentu
cakap sesuai dengan harapan ideal pembelajaran tematik-integratif. Modal
pelatihan 52 jam yang dicanangkan oleh pemerintah tidak cukup merubah
keterampilan mengajar guru. Para calon guru yang dididik di perguruan tinggi
selama kurang lebih 4 tahun tidak menjamin dapat menjalankan metode
tematik-integratif. Sehingga pelatihannya harus lebih dari waktu itu. Kemudian
disesuaikan dengan tingkat ketercapaian indikator keterampilan. Serta
menyisipkan materi metode tersebut dalam perkulihan di LPTK.
Spekulasi Kurikulum
Kurikulum dilekatkan dengan bahasa spekulasi. Maksudnya,
dalam kurikulum 2013 ada modus percobaan, untung-untungan, teoritis dan
abstraktif. Orientasinya tidak jangka panjang. Namun lebih pada spekulasi
jangka pendek. Artinya, umurnya boleh
jadi hanya seumur masa pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Besar
kemungkinan pergantian kabinet tahun 2014 berefek pada perubahan kebijakan
pendidikan yang ada. Hal ini dikarenakan awal dari pencetusan ide kurikulum
2013 kelihatannya bersifat elitis dari kawanan pemerintah saat ini. Potret seolah-olah
populis hanya bagian dari negosiasi publik.
Pada hakikatnya, kurikulum harus dirancang dengan baik karena
ini menyangkut sistem yang akan dilalui tunas-tunas pemimpin masa depan. Bahasa
spekulasi dilontarkan bukan tanpa referensi. Didasarkan pada pengamatan singkat
sejarah masa lalu. Sekurang-kurangnya telah terjadi 11 kali perubahan atau
revisi kurikulum sejak kemerdekaan. Dalam kurun waktu 10 tahun terahir atau
sejak orde reformasi bergulir sudah ada tiga kurikulum yang telah, sementara
dan akan dilaksanakan.
Pada tahun 2004 pemerintah merancang kurikulum berbasis
kompentensi (KBK). Ternyata kurikulum ini tidak panjang umur. Dalam waktu yang
relatif singkat, pemerintah merubah kurikulum tersebut dengan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Perubahan KBK ke KTSP merupakan hasil
dari pertimbangan khusus para profesional di bidang pendidikan atas dasar
mengikuti kebutuhan zaman. Karena pertimbangan lain pula maka saat ini KTSP tahun
2006 diganti dengan model yang diberi nama kurikulum 2013. Apabila dibandingkan
dengan persoalan waktu. Dipastikan umur KTSP lebih lama dibanding KBK.
Singkatnya, apakah kurikulum 2013 juga akan seumur KTSP atau
malah kurang lebih mirip dengan KBK. Apakah konsep yang ditawarkan kondisional
dengan jangka panjang pengembangan sistem pendidikan nasional atau sebaliknya.
Jawabannya sangat tergantung pada kontennya sendiri. Disinilah diharapkan sifat
realistis pemerintah dalam memikirkan segala sesuatu mengenai kurikulum baru.
Diproyeksikan dengan baik dan mengantisipasi komponen terkait.
Semua pihak pasti sepakat dengan upaya perbaikan sepanjang
itu demi keterampilan hidup generasi. Tetapi yang lebih penting diperhatikan
adalah muatan dari gagasan perbaikan dan prosedur pelaksanaan dari gagasan itu.
Tentunya dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Hal yang kurang etis bila
upaya perbaikan hanya sebatas pemikiran abstrak. Terkendala pada wilayah
tekhnis. Sehingga mengakibatkan benturan antara ruang konsep dan teknis.
Semuanya harus sinergi agar tidak ada hambatan berarti.
Pemerintah kelihatannya kurang mengantisipasi sejak dini
kalau pada titik tertentu para guru mengalami kesulitan mencapai harapan utama
kurikulum. Sangat ironi jika masalah ini dijawab dengan merubah kurikulum lagi.
Malah yang jadi korban nantinya ialah peserta didik. Model pengajaran dan
pembelajaran yang berbeda-beda dapat berefek pada kondisi psikologis. Dapat
membuat peserta didik kebingungan menerima pelajaran. Disamping itu, buku sebagai
pendukung pembelajaran tidak menggunakan lagi cetakan lama. Dengan sendirinya,
orang tua terpaksa harus mencari atau membeli buku baru berdasarkan kurikulum
yang diterapkan. Meskipun nantinya ada buku paket yang dibagikan di sekolah.
Aksebilitas Pendidikan
Potret yang agak ganjil dalam kurikulum ini adalah tingkat
aksebilitas pendidikan. Jika diamati lebih lanjut, seakan-akan ada gap antara
sekolah yang terakreditasi A/B dengan tidak terakreditasi A/B. Mulai dari
sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah
kejuruan (SMK). Sekolah yang terakreditasi A/B dapat melaksanakan kurikulum
2013. Sedangkan yang tidak terakreditasi A/B belum dianjurkan. Akreditasi
sekolah menjadi salah satu syarat utama kurikulum ini selain kesiapan sekolah,
kesiapan guru dan kesiapan manajemen tata kelola.
Apabila tingkat akreditasi menjadi batasan maka aksebilitas
pendidikan seluruh masyarakat Indonesia terbatas dengan sendirinya. Sekolah
yang terakreditasi A/B sudah pasti sekolahnya lebih maju dibanding yang tidak
demikian. Tentunya sekolah tersebut akan semakin maju. Kurikulum ini mencoba
mendesain praktek pengkotak-kotakan sarana pendidikan antara sekolah terakreditasi
A/B dengan yang belum terakreditasi A/B. Peserta didik yang kebetulan belajar
di sekolah akreditasi A/B sudah pasti mendapatkan pembelajaran yang lebih baik
dibanding murid atau siswa yang belajar pada sekolah yang tidak masuk dalam
kategori tersebut.
Secara nasional, berdasarkan data Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) yang dihimpun dari Media Indonesia 2013 dirilis bahwa
persentase sekolah yang terakreditasi A/B untuk setiap jenjang pendidikan yaitu
SD (71,5 %), SMP (73,7 %), SMA (74 %) dan SMK (84 %). Dari data ini, dipastikan
ada sekitar 25 % peserta didik setiap jenjang pendidikan yang tidak mendapatkan
aksebilitas pendidikan yang maksimal dengan metode pembelajaran berbasis
tematik-integratif. Secara tidak langsung, murid atau siswa yang kurang aktif
dan kreatif semakin terbelenggu dengan keterpurukan.
Pembatasan aksebilitas pendidikan pada dasarnya merusak
sistem pendidikan nasional. Sekolah yang sudah unggul semakin diunggulkan.
Sebaliknya, sekolah yang kurang maju semakin jauh dari kualitas. Inilah seputar
potret kurikulum 2013 yang terjadi dan kemungkinan terjadi di kemudian hari.
Masalahnya cukup kompleks dan menyisakan berbagai macam pertanyaan. Lebih
lanjut, masalah yang muncul kemudian justru akan menciderai para implementor
dan sistem pendidikan nasional dalam prospek jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar