Jumat, 21 Januari 2011

KESPRO


Permasalahan kesehatan reproduksi sudah menjadi wacana dunia. Berbagai negara berupaya untuk menangani dan memecahkan perosalan yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Berkat usaha dan perjuangan keras maka pada tahun 1994 diadakan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference On Population And Development/ICPD) di Kairo.

Pada saat itu masalah reproduksi diangkat menjadi isu penting dunia. Dalam konferensi tersebut disepakati beberapa program antara pendidikan dan konseling, perlindungan remaja terhadap kekerasan, kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual termasuk HIV-AIDS, program preventif dan perawatan pelecehan seksual. Seiringan dengan hal tersebut dibentuklah United Nations Population Fund (UNFPA) sebagai badan internasional untuk pembangunan yang mempromosikan hak pria dan wanita, menikmati hidup sehat dan kesempatan yang setara.

Kesehatan reproduksi merupakan suatu kondisi sehat yang bukan saja bebas dari penyakit atau kecacatan namun lebih dari pada itu adalah sehat secara mental dan sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi serta proses reproduksi termasuk angka hubungan seks sebelum nikah, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), angka penggunaan narkoba, angka pengidap HIV-AIDS serta kasus aborsi.

Hasil pengkajian yang lebih mendalam kesehatan reproduksi meliputi HIV-AIDS (human immunodeficiency virus dan acquired immune deviciency syndrome), NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya), dan seksualitas (penyakit menular seksual) kemudian dibingkai dengan sebutan triad kesehatan reproduksi remaja. Ketiga permasalahan ini cukup memprihatinkan karena hampir setiap tahun presentasenya mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil penelitian dua tahun terakhir (2008) oleh Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi menyimpulkan bahwa 62,7 % remaja sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Badan Narkotika Nasional juga menyebutkan bahwa sekitar 3,2 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia adalah pengguna narkoba. Jumlah tersebut tercatat 78 % diantaranya adalah remaja usia 20 – 29 tahun. Pada kesempatan yang lain Departemen Kesehatan menyebutkan terdapat 20.440 kasus HIV – AIDS per Maret 2010.
Data diatas memberikan ‘warning’ kepada pemerintah untuk lebih fokus menangani masalah tersebut. Selain masalah politik dan hukum yang selalu mengguncang pemerintah. Terdapat pula problem kesehatan, mental dan sosial yang juga membahayakan eksistensi bangsa. Setelah dianalisa ternyata permasalahan utama kesehatan reproduksi di Indonesia adalah kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi, pergeseran perilaku remaja, lemahnya penanganan masalah sosial dan pelayanan kesehatan yang buruk. Sehingga dibutuhkan suatu strategi dalam menyelesaikan berbagai macam permasalahan remaja.

Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi sangat tergantung pada informasi yang diterimanya baik melalui penyuluhan, media massa maupun orang tua serta kemampuan seseorang untuk menyerap dan menginterpretasikan informasi tersebut. Berbekal pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi akan dapat menyebabkan remaja tersebut dapat mengenali fungsi, peran dan sistem reproduksi sehingga remaja tersebut memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggungjawab mengenai proses produksi.

Beranjak dari semua hal tersebut maka diperlukan suatu strategi yang cukup praktis dan mudah untuk memberikan pengetahuan pada remaja tentang kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, dan NAPZA. Langkah ini dilakukan karena mengingat remaja adalah tunas bangsa. Kejayaan masa depan sangat tergantung dari kondisi remaja masa kini. Remaja yang dimaksud disini adalah penduduk usia 15 – 24 tahun (UNFPA). Secara tidak langsung usia tersebut merupakan usia mahasiswa. Berarti permasalahan kesehatan reproduksi remaja sebahagian besar adalah mahasiswa. Hal ini diperkuat dari berbagai sumber mengemukakan bahwa kasus HIV – AIDS, Napza dan seksualitas sebahagian besar dari kalangan mahasiswa.

Pusat Informasi dan Konseling Mahasiswa

Remaja ketika sudah beranjak pada masa puberitas maka berbagai macam hal akan menjadi bahan percobaan. Mulai mencari kelompok yang dianggap memiliki kesamaan persepsi dan pandangan. Pada saat seperti ini terkadang banyak yang salah memilih kelompok bermain sehingga terjerumus dalam kenakalan remaja atau patologi sosial. Kondisi ini juga menjadi realitas sosial dunia kemasiswaan.

Pengadaan pusat informasi dan konseling mahasiswa (PIK-Mahasiswa) cukup strategis mengatasi masalah triad kesehatan reproduksi (HIV-AIDS, Napza dan Seksualitas) dilingkungan perguruan tinggi secara khusus dan lingkungan masyarakat secara umum. Melalui wadah tersebut diupayakan sebagai information central dan counseling service guna menangani berbagai macam masalah yang terkait sekaligus pengembangan life skill mahasiswa. PIK-Mahasiswa sendiri merupakan kegiatan dari, oleh dan untuk mahasiswa. Pemberian informasi dan koseling dilakukan melalui pendekatan sebaya

Posisi mahasiswa sebagai social control sekaligus moral force perlu untuk dibuktikan. Mahasiswa merupakan kaum idealis yang mampu mengejawantahkan ide dan mengawal setiap fenomena yang terjadi disekeliling. Kondisi terpuruk yang melanda bangsa dalam hal kesehatan reproduksi remaja sangat terasa. Kenyataan sangat memprihatinkan ketika mengingat kenyataan bahwa jumlah remaja di Indonesia yang berusia 12-24 tahun mencapai 26,8% dari 230 juta jiwa penduduk Indonesia (Proyeksi BPS 2010).

Namun, sebagian besar dari mereka menghadapi berbagai masalah yang sangat kompleks berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksualnya. Setiap hari, mereka harus menjalani kehidupan reproduksinya dengan penuh resiko. Mulai resiko kehamilan yang tidak direncanakan (KTD), eksploitasi dan kekerasan seksual, penyakit hubungan seksual (IMS) sampai resiko terinfeksi HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil survey IRRMA dari berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah remaja yang telah aktif melakukan hubungan seksual diperkirakan rata-rata mencapai 28,8%. Peningkatan remaja yang telah melakukan hubungan seksual aktif inilah yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan unwanted pregnancy yang diperkirakan sekitar 1,5 juta per tahun, unsafe abortion mencapai 300,000 orang per tahun dan peningkatan kasus IMS, HIV/AIDS diperkirakan 75,000 – 150,000 per tahun. Lagi-lagi dari hasil penelitian inipun, terungkap pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi dan seksual umumnya sangat buruk.

Peran sentral mahasiswa harus dimanfaat secara optimal. Social control bukan hanya sebatas pada ranah politik semata. Tetapi harus melebarkan sayap dalam mengawal realitas sosial. Meningkatnya presentasi penderita HIV-AIDS, IMS, Narkoba merupakan realitas yang harus di ramu secara bersama. Mahasiswa sebagai kaum intelektual yang memiliki daya nalar yang lebih. Tampil terdepan dalam meminimalisir pergaulan bebas yang terjadi dimasyarakat.

Mahasiswa mestinya sadar dengan posisinya. Memperbaiki segala macam hal yang merusak citra bangsa untuk diperbaiki bersama. Meskipun sebahagian penderita HIV-AIDS, ISM, dan Narkoba berlatar belakang mahasiswa. Tetapi pada hakikatnya jika merujuk pada nilai yang sesungguhnya. Seorang mahasiswa harus anti dengan hal-hal tersebut. Oleh karena itu peran strategis yang dimiliki oleh mahasiswa jangan disia-siakan. Peran social control merupakan peran yang sangat mulia. Ditinjau dari sudut pandang sosial sangat mendukung terlebih dari sudut pandang agama.

Mahasiswa tampil terdepan menjadi pahlawan masyarakat. Mengawal kesehatan reproduksi beserta hal-hal yang terkait dengannya. Mahasiswa memberikan usaha menanggulangi segala macam bentuk dampak yang ditimbulkan dari pergaulan bebas, nasehat-menasehati terkait bahaya yang ditimbulkan diiringi dengan penyadaran spritual yang lebih mendalam. Nilai-nilai idealis ditingkatkan guna kemakmuran generasi pelanjut bangsa. Perlu disadari bersama bahwa tanpa social control maka patologi sosial akan menjadi jamur yang tetap tumbuh pada sisi kehidupan masyarakat. Upaya kontrol sosial dilakukan untuk meningkatkan peran mahasiswa dalam kesehatan reproduksi remaja sekaligus turut mengambil peran dalam menyelamatkan bangsa.

Mahasiswa yang apatis terhadap masyarakat mengalami kerugian besar jika ditinjau dari aspek sosial dan keilmuan. Dalam sudut pandang sosial, mahasiswa tersebut sudah menutup diri dari lingkungan sekitarnya sehingga muncul sikap tidak peduli dan hilangnya rasa simpati seiring hilangnya harapan masyarakat kepada mahasiswa. Aspek keilmuan, mahasiswa yang apatis akan menyia-nyiakan ilmu yang didapat di perguruan tinggi. Mahasiswa seolah-olah terhenti dalam pergerakan sosial dan menjadi kurang agresif dalam pengabdian masyarakat.

Meningkatnya kasus HIV-AIDS, Napza dan infeksi menular seksual (IMS) tidak terluput dari kurangnya life skill (keterampilan fisik, keterampilan emosional, keterampilan sosial dan keterampilan spritual) di kalangan remaja (mahasiswa). Oleh karena itu dibutuhkan perhatian ekstra dari berbagai kalangan yang terkait seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lembaga yang bersentuhan langsung dengan basis massa mahasiswa juga diupayakan memberikan kontribusi yang lebih seperti perguruan tinggi baik negeri maupun swasta melalui pusat informasi dan konseling mahasiswa (PIK-Mahasiswa).
Pendekatan ini merupakan pembinaan pribadi dalam kelompok karena kelompok merupakan suatu kesatuan yang dinamis. Metode-metode yang digunakan dalam pembinaan melalui metode androgogi dengan ciri-ciri : 1). Eksperiensial, berarti mengajak mereka menggumuli pengalaman-pengalaman hidup untuk menemukan sendiri arti dan makna baru bagi perkembangannya, 2). Dialogis partisipatif, berarti melibatkan dan mengaktifkan para remaja untuk mengungkapkan diri sebagai pemeran utama dalam proses pemberdayaan.
Pendidikan Basis Keluarga
Pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja disebabkan oleh kurangnya kontrol orang tua dan aktivitas yang bermanfaat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang tua adalah penanggungjawab penuh terhadap proses pendidikan dan pendewasaan anak. Tentu semua orang ingin keluarganya aman, sehat dan damai.
Kesibukan orang tua dalam mencari nafkah hidup juga tidak bisa dinafikan. Agenda yang padat sudah menjadi hal yang biasa bagi orang tua. Tetapi tetap perlu waktu untuk memberikan pendidikan dini kepada keluarga terkait kesehatan reproduksi agar terhindar dari pergaulan bebas dan patologi sosial. Hal yang perlu diwaspadai bersama adalah perkembangan tekhnologi internet dengan berbagai fasilitas mesin pencari situs sulit untuk dikendalikan. Keleluasaan membuka situs tanpa batas dari remaja membuat pengguna semakin memiliki kesempatan besar mengakses apa saja yang dinginkan. Sehingga mempersulit mengontrol secara penuh aktivitas yang dilakukan oleh remaja.
Awal dari kasus HIV-AIDS, Napza dan sesksualitas hanyalah dari kata ‘coba-coba’. Akhirnya coba-coba merubah menjadi ketagihan. Ketika remaja sudah ketagihan, terjadilah kasus demi kasus yang tiada hentinya sehingga berujung jatuhnya korban jiwa. Korban jiwa dari kasus ini sangat bervariasi mulai dari jenis kelamin sampai status sosial.
Perlunya pendidikan dini keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama yang dilalui remaja sebelum memasuki lingkungan yang lebih besar. Hubungan emosional anak terhadap orang tuanya juga sangat dekat dan dapat memberikan nuansa harmonis. Orang tualah yang kiranya harus berperan penting dalam kelangsungan hidup remaja. Melalui lingkungan keluarga remaja dibekali pengetahuan dan informasi triad KRR baik pendekatan budaya maupun agama.
Meskipun kenyataannya ada beberapa broken home di Indonesia yang sudah tidak peduli kehidupan keluarganya. Hal ini menjadi tantangan berat karena terkadang broken home membuat anak frustrasi dan stress. Keluarga yang ada pada lingkup ini perlu menyadari fungsi dan tugasnya serta terapi lebih lanjut dari pihak yang berwenang. Fenomena tersebut diatas secepatnya diatasi karena akan berdampak sistemik dan memperkokoh penyakit sosial kemasyarakatan.
Masalah triad kesehatan reproduksi cukup urgen untuk diwacanakan keseluruh basis keluarga. Ketika keluarga melaksanakan perannya dengan baik maka kejadian ini bukan lagi menjadi ancaman berat. Harapan besar masyarakat adalah mewujudkan keluarga berkualitas yang bebas dari penyalahgunaan napza, orang dengan HIV-AIDS (odha), dan pelaku seksual diluar nikah serta turunan lainnya yang berkaitan dengan wacana kesehatan reproduksi remaja. Oleh karena itu keluarga berencana merencanakan terciptanya generasi berencana yang jauh dari bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar