Minggu, 16 September 2012

KPK


Polemik korupsi merupakan wacana internasional baik negara maju maupun negara berkembang. Hampir setiap negara mengalami masalah korupsi yang signifikan dari masa ke masa, terkhusus negara-negara Asia Pasifik  meliputi Indonesia, India, Vietnam, Malaysia dan China. Kelima negara tersebut termasuk negara terkorup di Asia berdasarkan hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Political and Economic Risk Consultantcy (PERC), Indonesia memiliki indeks persepsi korupsi 8,32 pada tahun 2009 dan 9,10 pada tahun 2010, serta menempatkannya sebagai negara terkorup di Asia yang berada di bawah Vietnam dan Filipina.
Disamping itu, dalam dua tahun terakhir, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia versi Transparency International (TI) berada pada angka 2,8 dengan rangking 110 dari 178 negara pada tahun 2009 dan angka 2,8 dengan rangking 110 dari 180 negara terkorup pada tahun 2010. Sebelumnya, data  Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9).3 Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor.  
Korupsi yang terjadi Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat parah dan mengakar sampai pada sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas maupun dari segi kualitas semakin  serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana bagi kehidupan perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. 
Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini disebabkan metode konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat sehingga dalam penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary). Soal modus, yang paling banyak digunakan adalah penggelapan, mark up anggaran, proyek fiktif, penyalahgunaan anggaran, dan suap.
            Penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM aparat penegak hukum yang masih rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum tindak pidana korupsi, masih sering terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus korupsi serta kurangnya pencegahan korupsi. Kondisi inilah yang menyebabkan tindak korupsi semakin berkembang. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2010 menyebutkan bahwa terdapat 176 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum di level pusat maupun daerah. Nilai kerugian negara dalam kasus-kasus itu ditaksir mencapai Rp2,102 triliun.  Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun sebelumnya (2009), tercatat hanya ada sebanyak 86 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp1,7 triliun. Bahkan penyidikan dari Januari hingga Agustus 2011 mencapai 1.018 kasus (republika.co.id).
            Data tersebut menjadi suatu pedoman dasar untuk menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia. Namun, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berjalan sesuai dengan harapan publik. Bahkan dalam pemberantasan korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terdapat suap-menyuap dan tebang pilih kasus besar. Fakta ini yang membuat opini publik mosi tidak percaya kepada lembaga ini. Jadi, solusi terbaik untuk mengurangi masalah korupsi adalah pencegahan. Pemerintah cenderung hanya memprioritaskan penanganan korupsi dan memandang sebelah mata pencegahannya. Pencegahan sangat penting karena koruptor terkesan kebal hukum kepada kepolisian, kejaksaan dan KPK. Oleh karena itu, pencegahan merupakan jalan terbaik untuk mengurangi korupsi di negeri ini.
            Model pencegahan yang ditawarkan dalam karya tulis gagasan tertulis ini melalui emosional-spiritual approach berbasis quranic quotient. Gagasan ini bermaksud untuk memberikan kesadaran keber-agama-an dan pemahaman nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan. Keutuhan emosional-spiritual pada diri seseorang dapat menjadi pondasi dasar penguatan iman sehingga upaya melakukan pelanggaran dapat dihindari. Penerapan konsep ini dipadukan dengan quranic quotient sebagai pedoman hidup umat Islam. Pencegahan dengan pendekatan nilai-nilai Islam diusulkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Bahkan mayoritas koruptor (legislatif, eksekutif, yudikatif) mulai dari daerah sampai pusat berpredikat muslim . Hal ini menjadi ironi karena dalam syariat Islam diajarkan untuk menghindari korupsi. Konsep ini menyangkut penjernihan emosi, membangun mental dan ketangguhan pribadi beradasar pada quranic quotient. Gagasan ini sangat tepat, mengingat keimanan yang kuat dapat membentengi diri untuk tidak berbuat kesalahan dan dosa.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar